Rabu, 06 Juni 2012

Stabil Harapkan Tinjau Ulang Persyaratan Izin Pertambangan

Jupriayansah S.Hut

SISI negatif penambangan batu bara “tampaknya” mulai makin terasa, hingga jadi sorotan para pecinta lingkungan secara massif di Indonesia termaksud Kaltim. 
Selain dampak kerusakan langsung pada lahan, aktivitas pengerukan batu bara disinyalir juga memberi efek buruk pada beberapa kawasan yang memiliki hubungan dengan aliran sungai, yakni masyarakat areal kawasan tangkapan pesisir sungai kehilangan mata pencaharian tangkapan ikan, kepiting, udang, siput dan lain sebagainya.
“Akibat limbah perusahaan dan lalu lalang kapal-kapal besar pengangkut emas hitam alias batu bara, menjadikan masyarakat sekitar pesisir sungai mengalami dua kali penderitaan. Selain kehilangan mata pencaharian jangka panjang, dampak lain yang langsung dirasa, bertambahnya penderitaan masyarakat akibat kelangkaan air bersih di wilayah bibir sungai pemukiman,” ujar Jupriayansah S.Hut, Ketua Perkumpulan STABIL (Sentra Program Pemberdayaan dan Kemitraan Lingkungan) saat ditemui di sela-sela pemaparan kegiatan rutin di ruang rapat kerjanya di Jl. Banjar, RT.5, Kelurahan Gunung Sari Ilir, Kota Balikpapan.
Didampingi beberapa rekannya (Eka, Sugeng dan Dayat), Jufriansyah tetap memaparkan. Banyaknya kebijakan keluar izin pertambangan pada dasawarsa ini, yang kelihatannya masih mudah diperoleh oleh perusahaan pertambangan, terkesan menunjukkan bahwa bencana alam yang datang silih berganti belum menjadi poin pembelajaran untuk mengepaluasi kesalahan kebijakanselama ini. Hingga secara kolektif masyarakat terus menerima imbas dan harus turut membayar mahal dikemudian hari, meski tidak tahu persoalan sebenarnya.
“Umumnya, dampak kerusakan alam terjadi karena adanya proses pengeluaran izin yang kurang ketat pada sisi pengawasan pengajuannya. Hinnga dokumen studi kelayakan AMDAL, UKL, UPL hanya dijadikan formalitas agar bisa melakukan kegiatan produksi tambang dan houlding batu bara secara massif,” ujar Jufri.
Mekanisme pemberian izin menurutnya, mulai dari izin prinsip hingga izin kelayakan yang idealnya harus sudah dikaji dari awal dan secara matang baru bisa disampaikan pejabat terkait, tampaknya sangat jarang melibatkan konsultasi publik dan masyarakat. Hingga terkesan menafikan azas keterbukaan, keadilan dan perencanaan, yaitu dimana idealnya akhir aktifitas tambang harus memiliki metode laporan atas tehnik penanggulangan paca tambang.
“Proses perizinan pertambangan yang tidak lepas dari pemanfaatan sumber daya alam di suatu wilayah mengharuskan adanya pengetatan dan peninjauan ulang atas izin yang akan dikeluarkan. Karena tatkala pelaksana tidak pandai dan tidak bijak mengelola maka kehancuran adalah hal pasti yang akan dirasakan masyarakat sekitar kawasan tersebut,” imbuhnya. 
Kerusakan kata jufri akan mulai terasa secara bertahap hingga menggelobal seperti hilangnya daerah tangkapan dan serapan air, terasanya pencemaran lingkungan oleh karbon dan limbah B3, terjadi polusi dan banjir diseluruh penjuru kota dan desa-desa.
“Problematik konflik interes antara warga dengan warga, warga dengan perusahaan sangat potensial terjadi akibat epek domino dari paktor sosial yang dilahirkan oleh keberadaan perusahaan tambang batu bara,” kata Jufri.
Disinggung mengenai persoalan izin yang sudah terlanjur dikeluarkan pemerintah (baik pusat maupun daerah) pada perusahaan-perusahaan pertambangan batu bara yang ada di Kaltim, ia mengingatkan agar pemerintah mau melakukan upaya pengkajian ulang atas tata persyaratan pemberian izin yang selama ini dianggap lemah dan kurang teransparan di tiap-tiap daerah, hingga dianggap tidak memenuhi norma persyaratan sebagaimana seharusnya. 
“Sebelum mengambil kebijakan untuk mengeluarkan keputusan pemberian izin. Sepatutnya, pemerintah tidak menapik pentingnya pungsi pengetatan persyaratan studi kelayakan dengan  melibatkan lebih banyak elemen masyarakat –stakeholders- dalam mengkaji rencana penetapan wilayah tambang yang diinginkan.” 
Dan yang tak kalah penting, “pemerintah mau melakukan kroscek pada tata cara perolehan izin dan kesiapan perusahaan pemegang izin dalam penanggulangan pasca tambang/revitalisasi dan rekondisi lahan”, tandas Jufri menegaskan. (Slamet/M.A)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar