Senin, 18 Juni 2012

Ungkap Sindikat Imigrasi Neneng

JAKARTA, (SUARA LSM) - Pulangnya tersangka korupsi Neneng Sri Wahyuni ke Indonesia tak bisa dianggap sebagai persoalan biasa. Bukti penggunaan identitas palsu untuk penerbitan izin imigrasi bagi tersangka merupakan pelanggaran pidana yang terstruktur.
Direktur Setara Institute Hendardi menegaskan, KPK tak boleh merasa besar hati dengan tertangkapnya Neneng Sri Wahyuni. Kembalinya tersangka ke Indonesia sudah pasti ada motif tertentu. Sebab, seharunya Neneng tak bisa kembali ke Indonesia.
’’Kalau KPK sekarang bangga. Apa yang bisa dibanggakan. Justru KPK merasa diuntungkan dengan kepulangan Neneng. Itu dulu yang musti disadari KPK,’’ ujar Hendardi di Jakarta, Sabtu (16/6).
Menurutnya kepulangan tersangka korupsi PLTS Kemenakertrans ini dapat menjadi sarana bagi KPK melakukan penyelidikan lainnya. Terutama penggunaan izin imigrasi palsu yang dilakukan tersangka.
Dalam kasus itu, lanjut dia, tak mungkin pemberian izin imigrasi palsu itu bisa terjadi begitu saja. Hanya sebatas keterlibatan sindikat tertentu. Tak menutup kemungkinan ada keterlibatan oknum di Direktorat Keimigrasian di Indonesia.
Hendardi meminta KPK bisa pula mengembangkan perkara tersebut. Kasus utama Neneng yang berkaitan dengan suap proyek PLTS Kemenakertrans itu sudah pasti cukup kuat. Sebab, sejak lama KPK telah menetapkan Neneng sebagai tersangka.
’’Saya rasa persoalan pokoknya sudah selesai. Untuk apa ditetapkan tersangka kalau tidak ada bukti. Nah sekarang mau tidak KPK membongkar persoalan imigrasinya tersangka,’’ ujar dia.
Lebih rinci Hendardi menerangkan keberanian tersangka kembali ke Indonesia dengan kasus cukup serius, itu sangat besar memiliki latar belakang tersendiri. Apalagi tersangka dengan enteng menggunakan identitas palsu untuk masuk ke Indonesia.
Dengan kenyataan itu, tambah Hendardi, banyak kecurigaan yang bisa dimunculkan. Mulai adanya sindikasi terstruktur dalam pemberian izin imigrasi sampai pada dugaan seringnya tersangka masuk ke Indonesia menggunakan data palsu.
’’Ini kan ada kelemahan pada kontrol imigrasi Indonesia. Hal ini bisa jadi pelajaran penting bagi instansi terkait. Sekaligus menggiring pada peluang tindak pidana korupsi pada pemberian izin tersebut,’’ tegasnya.
Diterangkan Hendardi, penggunaan data palsu untuk masuk ke Indonesia harus dilihat sebagai perkara serius. Meskipun pengguna data palsu itu memang warga Indonesia. Artinya tindak pencekalan dan pencabutan imigrasi milik tersangka sebagai langkah mempersempit gerak.
Namun nyatanya, sambung dia, tersangka melakukan tindak pidana lain. Dengan membuat identitas palsu sebagai alat kembali ke Indonesia. ’’Harus jernih KPK melihat persoalan ini. Kasus korupsinya memang sangat jelas pidana. Sedangkan penggunaan identitas palsu juga pidana,’’ ungkapnya.
Sementara itu, pakar hukum UI Ganjar Laksamana mengakui penggunaan identitas palsu bagi tersangka sebagai dokumen imigrasi layak dijadikan persoalan serius. Untuk itu KPK perlu meneliti mendalam penggunaan identitas palsu tersebut.
Jika memang terbukti, sambung dia, KPK perlu melibatkan penyidik lain dalam persoalan tersebut. Sebab, penggunaan identitas palsu pada dokumen imigrasi merupakan pidana lain. Berbeda dengan tindak korupsi.
’’Kalau memang benar ada penggunaan identitas palsu, maka KPK perlu limpahkan perkaranya pada kejaksaan atau kepolisian untuk identitas palsu. Bukan korupsinya,’’ tambahnya.
Sedangkan jika ada dugaan suap pada penggunaan identitas palsu, menurut dia, KPK perlu menindaklanjuti perkaranya. Tak menutup kemungkinan tersangka dikenakan pasal korupsi lain pada kasus identitas palsu bagi dokumen imigrasi. (jppn)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar