Rabu, 06 Juni 2012

“Yang Membahayakan Kita adalah State Capture Corruption”

Todung Mulya Lubis
Jakarta,- Sepak terjang Todung Mulya Lubis tidak asing lagi di jagat hukum dan demokrasi. Ia aktivis-intelektual yang cerdas dan kredibel. Bagi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Bang Todung—begitu panggilan akrabnya—adalah koordinator tim kuasa hukum anggota DPD yang berpolemik di Mahkamah Konstitusi (MK).
Terakhir, ia koordinator tim kuasa hukum judicial review materi ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD) yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) serta merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional anggota DPD sebagai pemohon.
Todung menghabiskan masa kecil dan remajanya di Sumatera. Setamat sekolah dasar di Jambi, ia melanjut ke sekolah menengah pertama di Pekanbaru, Riau, kemudian sekolah menengah atas di Medan, Sumatera Utara.
Ia hijrah ke Jakarta. Kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). Semasa kuliah, Todung “turun ke jalan” menentang kekuasaan Soeharto, penguasa masa itu. Lulus tahun 1974, Todung magang di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Bidang Nonlitigasi.
Todong merasa berhutang budi pada LBH Jakarta, yang disebutnya almamater kedua. Di sini, kepekaan nurani terasah: terbukalah mata dan telinganya. Misalnya, Todung memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang menggusur warga dan menyerobot tanahnya.
Karena sikapnya, pria kelahiran Muara Botung, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 4 Juli 1949, ini dicekal dan dilarang mengajar oleh pemerintahan Soeharto. Di era Orde Baru, Todung terlampau keras! Ia membela tahanan politik dari kalangan sipil maupun militer, termasuk Letnan Jenderal TNI (purnawirawan) Hartono Rekso Dharsono, mantan Panglima Komando Daerah Militer III/Siliwangi yang dituduh terlibat peledakan Bank BCA di Glodok, Jakarta, sebagai buntut kasus Tanjung Priok tahun 1994. Ia juga membela Marsinah, buruh pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang diculik dan dimatikan rezim militeristik.
Jalan yang ditempuh tidak mudah, tetapi nasib baik menyertainya. Gerakan mahasiswa yang menuntut perbaikan karena ketimpangan sosial yang parah mencapai puncaknya tanggal 15 Januari 1974. Puluhan aktivis ditangkap dan dihukum waktu itu, tapi keajaiban menyelamatkannya. Sepanjang bulan Desember 1973 sampai tanggal 14 Januari 1974, Todung mengikuti ”Asia Pacific Student Leaders Program” untuk mengenal Amerika Serikat yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri negara itu. Ia kembali ke Indonesia saat gerakan mahasiswa memuncak di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Berkat bantuan Duta Besar Amerika Serikat, ia melanjut ke Law School, Universitas California at Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat, dan Harvard Law School, Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat.
Selama 18 tahun di LBH Jakarta, ia merasa telah membayar hutang sosialnya. Hokinya sebagai profesional juga membawa keberuntungan. Tahun 1991, ia mendirikan The Law Office of Mulya Lubis and Partners yang kini dikenal sebagai Lubis Santosa Maulana - Law Offices. Ia tak menyukai pertanyaan menyangkut penghasilannya. Tapi, diperkirakan Todung menerima legal fee antara US$ 375 dan US$ 550 per jam. Tak semua kasus membuat koceknya menggelembung. Menjadi mesin uang bukan pilihannya.
Makanya, dunia aktivis tidak seluruhnya dilupakan. Walau sekarang mempunyai kantor kepengacaraan disertai 30 lawyer, Todung tetap pendiri dan pengurus berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Semua dilakukannya karena tidak bisa melepaskan diri dari masalah kemanusian.
Ada sesuatu yang ingin diraihnya. Integritas. Yang dirambah sejak ia mengenal tulis-menulis, dan malahan menjadi wartawan “Indonesia Raya” dan “Sinar Harapan.” Katakanlah kasus pers dan politik. Todung bukan tipe advokat “hitam” yang disindir publik melalui plesetan “Maju Tak Gentar Membela Yang Bayar!”
Selain menaruh perhatian yang sangat besar di dunia hukum dan demokrasi, mantan pengacara Time versus Soeharto ini menyukai sastra. Awalnya, ia menulis cerita pendek, puisi, bermain teater. Dari hasil perenungannya, banyak tulisan sastra yang dimuatHorison, Sastra, dan Basis. Antologi puisinya bersama Rayani Sriwidodo, “Pada Sebuah Lorong”, diterbitkan tahun 1968. Dia seangkatan dengan Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi WM. Sebagai seorang seniman, ia selalu berurusan dengan tragedi dan ironi. Di sinilah kepekaannya terasah yang menjadikannya manusiawi.
Dari tiga unsur efektivitas dan efisiensi hukum (legal substance, legal structure, legal culture), yang menjadi prioritas pembaharuan hukum ialah legal structure. Pembaharuanlegal structure (struktur hukum) menyangkut aparatur penegak hukum, baik hakim, jaksa, polisi, maupun pengacara, termasuk institusi hukum adhoc seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas Mafia Hukum). Membicarakan hukum tidak terlepas dari pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dan advokat (pengacara) sebagai empat pilar hukum.
Apakah terjadi reformasi di empat pilar hukum? Begitu banyak berita hakim, jaksa, polisi, dan advokat yang memeras terdakwa atau hakim, jaksa, polisi, dan advokat “bermain mata” membentuk jaringan mafia kasus atau disebut juga makelar hukum. Mafia kasus merusak sistem hukum Indonesia. Kehadiran mafia membuktikan struktur hukum yang sebenarnya: bagus di luar tapi rapuh di dalam.
“Mafia kasus adalah akar kebobrokan hukum di Indonesia. Saya ingin, tidak hanya mereformasi kejaksaan, kepolisian, dan KPK, kita juga memberantas mafia kasus yang berkeliaran. Fenomena Anggodo jangan dibiarkan, harus diberantas,” pembaca novel karya Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, AA Navis, John Stamp, dan Robert Frost ini menegaskan.
Menurut Ketua Executive Board Transparency International Indonesia (TII) ini, memberantas mafia kasus bisa dimulai di “pulau-pulau korupsi”, institusi-institusi yang terbanyak praktik korupsinya. Aktualitasnya sulit tapi bisa berdasarkan persepsi publik. Institusi peradilan seperti kejaksaan dan kepolisian dalam persepsi publik sangat negatif, karena korupsinya tinggi. “Kita harus ke institusi-institusi yang betul-betul koruptif dipersepsikan oleh publik dan kita menyerangnya total. Setelah diperbaiki, nantinya institusi-institusi ini menjadi ‘pulau-pulau integritas’. Mudah-mudahan, ‘pulau-pulau integritas’ ini menular ke instansi-instansi lain.”
Persoalan kita tidak hanya figur an sich, tapi sistemnya. Selama sistemnya tidak dibangun agar transparan dan akuntabel, checks and balances, maka apapun yang dilakukan tidak akan memenuhi keadilan. “Satu juta koruptor bisa ditahan, tapi akan lahir satu-dua juta koruptor yang lain. Buat saya, cara ini bukan solusi cespleng. Kecuali, kita membangun sistem agar orang tidak seenaknya korupsi, apalagi corruption by greed(korupsi karena rakus). Corruption by need (korupsi karena kebutuhan), selama remunerasi tidak dilakukan, akan selalu terjadi.”
“Yang membahayakan kita bukan corruption by greed, tapi state capture corruption(korupsi menyandera negara). Di negara ini, pembuat kebijakan, keputusan, undang-undang dikuasai oleh sekelompok orang untuk kepentingan bisnis mereka. Potensi korupsinya luar biasa. Jenis korupsi ini harus diwaspadai,” penyuka karya penyair Leon Trotsky, Soetardji Calzoum Bachri, dan Abdul Hadi ini menegaskannya saat Dialog Interaktif Prespektif Indonesia “Mengurai Wajah Aparatur Penegak Hukum” di Pressroom Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Jumat (13/11/09).
Apa sih cita-citanya waktu kecil? Todung ingin menjadi diplomat. Dibayangkannya, diplomat adalah kesempatan belajar banyak, karena bisa ke berbagai negara. Tetapi, menjadi advokat dan aktivis ternyata juga bisa berjalan-jalan ke berbagai negara.
Sejak sekolah dasar, Todung gemar membaca novel, biografi, dan sejarah. Ia membaca sejarah Amerika Serikat, biografi George Washington sebagai presiden pertama, Thomas Jefferson sebagai perumus konstitusi, dan Benjamin Franklin sebagai salah satu pemimpin Revolusi Amerika Serikat dan penandatangan Deklarasi Kemerdekaan.
Siapa orang yang berpengaruh dalam hidup Todung? Profesor Daniel Saul Lev, profesor ilmu politik di Universitas Washington, Seattle, yang menjadi guru sekaligus sahabatnya sejak tahun 1971. Dia banyak membantu karir dan perjalanan hidupnya, termasuk menjadi promotornya ketika meraih gelar PhD in law. Lalu, Yap Thiam Hien, seorang pengabdi hukum sejati yang seluruh hidupnya berjuang demi keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Kemilau keteladanan Yap mengilhami Todung untuk memberikan Yap Thiam Hien Award, penghargaan tertinggi bagi mereka yang berprestasi dalam mempertahankan hak-hak asasi manusia.
Serta ayahnya, Sati Lubis, yang demokratis tapi mengajarkan disiplin, kejujuran, dan kesederhanaan. Sati adalah salah seorang pendiri Antar Lintas Sumatera (ALS), perusahaan angkutan yang menghubungkan kota-kota di Sumatera hingga Jawa dan Bali.
Ketika dua pimpinan (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra Marta Hamzah dan Bibit Samad Rianto sebagai tersangka tindak pidana korupsi (pemerasan, penyuapan, dan penyalahgunaan wewenang), banyak kalangan mencurigainya direkayasa Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Chandra Marta Hamzah dan Bibit Samad Rianto (Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2009) yang beranggotakan delapan orang, sehingga kemudian disebut Tim Delapan. Todung sebagai anggota tim.
Tapi, tidak sedikit yang mengkritik Tim Delapan. Alasannya, mereka hanya mencari fakta dan memverifikasinya, tidak boleh mengeluarkan legal opinion (pendapat hukum) atauius opinio dan legal reasoning (penalaran hukum). Terhadap tuduhan bahwa Tim Delapan melebihi mandatnya, Todung mengatakan, ketika Tim Delapan mencari fakta dan memverifikasinya maka mau tidak mau melahirkan legal opinion. “Ketika memverifikasinya, akan terbersit legal opinion. Sangat sempit kalau kami hanya menulis kembali temuan-temuan dan prosesnya.”
“Kita hidup di zaman yang terbuka, transparan, akuntabel. Kami ingin menunjukkan kepada publik bahwa jika bekerja di tengah-tengah open society maka publik berhak mengetahuinya. Tapi tidak cukup itu, hukum kita akan hancur berantakan kalau kasus ini tidak diselesaikan cepat, tegas, dan adil.”
Menurut Todung, kalau Tim Delapan dilarang mempublikasikan legal opinion-nya atau hanya menyerahkan hasilnya kepada Presiden, maka sia-sia saja. “Banyak contoh tim-tim yang dibentuk Presiden sebelumnya, tapi tanpa diikuti aksi apa-apa. Bagaimana nasib kasus Munir? Buat saya, akuntabilitas kepada publik adalah segala-galanya.”
Todung mengatakan, selain DPR, komponen-komponen masyarakat juga berhak melakukan fungsi kontrol terhadap institusi hukum. “Dalam iklim yang sangat terbuka kini, kontrol dilakukan lembaga-lembaga lain di luar DPR. Sangat banyak civil society di Indonesia, seperti LSM, yang melakukan fungsi kontrol. Begitu bebas media-media massa kita.”

0 $type={blogger}:

Posting Komentar