Minggu, 08 Juli 2012

173 Kepala Daerah ‘Ramai-ramai’ Masuk Bui

Jakarta, (SUARA LSM) - Korupsi menghinggapi banyak kalangan, termasuk pejabat pemerintahan yang seharusnya menjadi teladan. Bayangkan, selama periode 2004-2012, terdapat 173 kepala daerah yang menjadi saksi, tersangka dan terdakwa.
Dalam beberapa bulan terakhir ini saja, enam Kepala Daerah kesandung korupsi. Yakni, Bupati Buol Amran Batalipu terkait kasus dugaan suap lahan sawit dari PT Hardaya Inti Plantation, dan ditangkap Jumat (6/7).
Lalu, Bupati Subang nonaktif, Eep Hidayat telah divonis MA, 5 tahun penjara dengan denda Rp 200 juta serta subsidair 3 bulan penjara. Ia wajib mengembalikan uang negara sebesar Rp 2,548 miliar.
Walikota Bekasi (nonaktif), Muhtar Muhammad, telah divonis MA, 6 tahun penjara di Bandung, Jabar.
Bupati Pelalawan, Riau, periode 2001-2006 Tengku Azmun Jaafar, dijatuhi vonis 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan. Dia terbukti bersalah melakukan illegal logging dan merugikan negara sebesar Rp 1,2 triliun.
Bupati Lampung Timur, Satono dihukum 15 tahun penjara, karena terbukti melakukan korupsi APBD sebesar Rp 119 miliar. Saat ini, Satono kabur dan belum tertangkap. Sementara, Bupati Brebes Indra Kusuma divonis 2 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta.
Sebanyak 173 kepala daerah telah yang ditetapkan menjadi saksi, tersangka dan terdakwa korupsi, tentu bukanlah jumlah yang sedikit. Dan, sangat besar kemungkinan jumlah tersebut akan terus mengalami peningkatan.
Ketua Umum Indonesian Coruption Watch (ICI), Helmi Taher, saat diminta tanggapannya mengatakan, “memang korupsi sudah membudaya di negeri ini bak jamur di musim hujan ‘dicomot’ satu tumbuh seribu, ini memang miris.” 
Helmi menambahkan, Pertanyaannya, mengapa penjara seolah mengintai para kepala daerah? Hal ini bisa disebabkan banyak hal. Di antaranya, modal yang dikeluarkan saat kampanye Pilkada terlalu besar, sehingga ada keinginan mengembalikan modal tersebut.
Penyebab lainnya, sang kepala daerah sejak awal sudah memiliki niat tidak baik, yakni ingin memperkaya diri melalui jabatan. Dan, tidak tertutup pula kemungkinan background para kepala daerah, juga menjadi penyebab terjadinya penyimpangan APBD, karena banyak di antara mereka tidak memahami tetek bengek penggunaan keuangan negara dengan baik dan benar.
Karena penjara terus mengintai para kepala daerah, apalagi KPK sepertinya semakin memperlihatkan 'gigi'nya, hal ini seharusnya dapat dijadikan sebagai pelajaran berharga bagi para kepala daerah dan mereka yang tengah meretas jalan menuju kursi gubernur, bupati atau wali kota.
Agar tidak menjadi penghuni penjara berikutnya, para kepala daerah seharusnya segera melakukan introspeksi diri, dan benar-benar mengalokasikan anggaran pembangunan yang ditampung dalam APBD, sesuai dengan peruntukannya.
Jika penggunaan anggaran dilaksanakan secara transparan dan penuh tanggung jawab, niscaya jabatan kepala daerah itu, akan membuat nama sang pejabat, akan clean serta dikenang masyarakat, sekaligus sangat jauh dari kemungkinan menjadi incaran KPK, ujarnya kepada SUARA LSMonline. (Tim)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar