Sabtu, 07 Juli 2012

Pemberantasan Korupsi di Cina, Membenci Korupsi Sejak Dini

ilustrasi
Sejumlah langkah pemberantasan korupsi tak hentinya dilakukan pemerintah China. Baru-baru ini, nama-nama dan gambar pejabat negara yang korup dipajang dalam sebuah pameran di Beijing. Warganya juga dididik agar membenci koruptor melalui game online, dimana para pejabat yang korup boleh dibunuh dengan senjata, ilmu hitam, atau disiksa.

Banyak negara termasuk pemerintah Indonesia cukup tercengang atas keberanian negara komunis itu dalam menjerat para koruptor. Lebih-lebih hukuman mati dikenakan kepada mereka. Tak heran jika China kini telah menjadi model dalam pemberantasan korupsi di Asia. Beberapa negara merasa perlu belajar dari China. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan menjalin kerjasama dengan China untuk pemberantasan korupsi sejak Juli lalu.

Ancaman Korupsi
Komitmen kuat penguasa China untuk memberantas korupsi sudah dimulai sejak masa Zhu Rongji (1997-2002). Pemberantasan korupsi yang dilakukan Perdana Menteri China itu, merupakan bagian dari reformasi birokrasi. Langkah ini memberikan kepastian hukum sehingga mendorong iklim investasi yang mampu menghimpun dana asing senilai 50 miliar dollar AS setiap tahun. Pertumbuhan ekonominya langsung melesat– terlepas dari kelemahannya.

Sayangnya langkah itu justru menyurut di bawah Presiden Jiang Zemin pada awal 2000-an. Jiang menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dan kelompoknya– geng Shanghai. Jiang Mianheng putra sulungnya, selain difasilitasi dalam usaha bisnisnya, juga diberi jabatan. Jiang pun menghimpun dana tak terbatas dari sejumlah departemen untuk menindas kelompok politik dan spiritual yang dianggap sebagai musuhnya, seperti Falun Gong.

Setelah Hu Jintao berkuasa, api pemberantasan korupsi kembali menyala. Penguasa China itu memperingatkan kepada para anggotanya bahwa korupsi mengancam partai di tampuk kekuasaan. Baginya, kekuasaan PKC tidak bisa dianggap keniscayaan semata, sedangkan gerakan antikorupsi merupakan “perjuangan hidup dan mati” bagi partai komunis.

Kegerahan Hu atas kasus korupsi bisa dipahami. Reformasi ekonomi yang cenderung kapitalistik yang tidak diikuti dengan reformasi politik yang demokratis, telah membuat elite partai yang berkuasa leluasa menumpuk kekayaan. Hal itu diperparah dengan tidak adanya kontrol masyarakat sipil dan pers. Dilaporkan setidaknya 4 ribu pejabat korup telah hengkang dari China dalam 20 tahun terakhir ini dengan menggondol setidaknya US $ 50 miliar.


Sepanjang 2004, pemerintahan Hu menghukum sebanyak 164.831 anggota partai karena menguras uang negara lebih dari 300 juta dollar AS. Sebanyak 15 diantaranya menteri. Selama 6 bulan pertama 2007, angka resmi menyebutkan 5.000 pejabat korup dijatuhi hukuman. Terakhir, mantan Direktur Administrasi Negara untuk Makanan dan Obat-obatan Zheng Xiaoyu yang terbukti menerima suap 6,5 juta yuan (sekitar Rp 75 miliar) dieksekusi mati.

Belakangan elite politik mulai terseret. Chen Liangyu, mantan sekretaris partai di Shanghai yang dekat dengan Jiang Zemin diajukan ke pengadilan tahun lalu. Dia diduga terlibat skandal korupsi senilai 1,25 miliar dollar AS. Begitu juga kasus pemecatan Menteri Keuangan Jin Renqing pada akhir Agustus 2007 lalu. Setelah dikabarkan terlibat skandal wanita, belakangan diketahui dia berperan dalam penggalangan dana untuk menindas Falun Gong. Sebanyak triliunan Yuan uang negara disalahgunakan demi politik Jiang itu.
Tanpa Demokrasi

Saat ini China menerapkan tiga langkah untuk memberantas korupsi, yaitu memperbaiki sistem birokrasi, meningkatkan penyidikan terhadap pegawai negeri, dan mengawasi kekuasaan. Pengawasan ditingkat administrasi pemerintahan dilakukan oleh Kementrian Pengawasan, sedangkan pengawasan internal di tubuh partai dijalankan oleh Direktorat Disiplin.

Seperti di Indonesia, meski pemerintah China terus melakukan kampanye antikorupsi dan penangkapan ratusan pejabat, aksi penyuapan, penggelapan, dan berbagai bentuk tindak korupsi masih terjadi. Hal itu dimungkinkan karena elite partai masih menguasai industri penting seperti perbankan, properti dan manufaktur, dan pemerintah pusat tak bisa mengontrolnya.

Sebenarnya korupsi di China jauh lebih besar dari yang dipublikasikan secara resmi. Di The International Herald Tribune, Jim Yardly menyebutnya “boom in corruption”. Apalagi pers dan internet masih dikendalikan partai. Meski berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2007 yang dikeluarkan Transparency International menunjukan China mendapat skors 3,5, atau jauh lebih baik dari Indonesia yang skornya hanya 2,3, namun dalam praktek korupsi sangat mungkin keadaanya jauh lebih parah. Hal itu dimungkinkan mengingat survey ini didasarkan pada persepsi pengusaha yang berada di bawah tekanan rejim komunis.

Kewenangan PKC yang sangat besar adalah akar masalahnya. Anggota partai yang berjumlah sekitar 68 juta orang mendapat perlakuan istimewa, dimana kejaksaan atau kepolisian tidak boleh menentukan, apakah orang tersebut boleh diajukan ke pengadilan atau tidak. Partailah yang menentukan proses hukumnya, termasuk dalam penetapan hukumannya. Jadi partai bisa berada diatas hukum maupun undang-undang yang berlaku. Tingkat kerahasiaan yang sangat tinggi di pemerintahan selama ini, turut juga menyuburkan korupsi.
Meski Presiden Hu ingin memastikan legitimasinya dengan menanggapi tuntutan publik untuk membasmi korupsi, ia belum menunjukkan kemauannya untuk mereformasi sistem politiknya. Wajar saja jika upaya gerakan antikorupsi yang dilakukannya terkesan hanya bertendensi politis untuk menyingkirkan klik Jiang yang masih mengendalikan asset dan kekuasaan.

Bagaimanapun, demokrasi termasuk kebebasan pers, adalah pilar pokok pemberantasan korupsi. Keinginan Hu Jintao mempertahakan kekuasaan monolitik partai dengan alasan menghindari demokrasi gaya barat, tentu menjadi kontra produktif dengan pemberantasan korupsi. Sebab tanpa melibatkan pers, rakyat, dan organisasi masyarakat sipil dalam pengawasan, gerakan antikorupsi tidak akan berjalan efektif dan akan selalu dipenuhi kepentingan politik. (net)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar