Jumat, 17 Agustus 2012

Korupsi, Kado HUT Kemerdekaan RI Ke-67

Jakarta, (SUARA LSM) - Saat ini, sejak era reformasi, kita disuguhkan berita korupsi, korupsi, dan korupsi. Korupsi terjadi hampir di semua elemen bang ini, dari Sabang sampai Merauke.

Bangun pagi, ketika menghidupkan televisi, berita utama pasti tentang wajah para pejabat yang digelandang ke penjara.

Di koran-koran terpampang  wajah pejabat yang duduk di kursi pesakitan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rakyat hanya bisa mencak-mencak, memaki dan mengumpat tentang  bagaimana boroknya mental pejabat negara ini, para politisi, dan pengusaha yang tega mencuri uang negara untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Hari ini,  67 tahun kita merdeka. Sayang kemerdekaan yang sesungguhnya, seperti  yang ditera dalam  Pembukaan UUD 1945 belum terwujud.

Banyak persoalan membuat wajah bangsa ini semakin karut-marut. Korupsi adalah problem serius bagi Indonesia. Ibarat memberantas mafia obat-obatan, pemberantasan korupsi tak hanya harus berhadapan dengan kekuatan politik yang korup, tapi juga kepemimpinan yang lemah.

“Saya harus mengakui bahwa masih banyak pelaku korupsi bahkan di pemerintahan, parlemen, DPRD dan diantara penegak hukum,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  (SBY) dalam pidato kenegaraan menyambut hari kemerdekaan di hadapan parlemen, Kamis (16/8).

Sorotan atas masalah korupsi ini disampaikan Presiden Yudhoyono di tengah pertarungan besar antara Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dengan Kepolisian.

Sebagaimana dilansir sebuah  media nasional, seorang sumber mengatakan bahwa di hadapan ribuan calon perwira, Kapolri Timur Pradopo  mengatakan,  “Menggeledah tempat orang seenaknya dan menangkap orang seenaknya itu namanya garong.”

Kapolri ingin menyindir penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan KPK atas kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM di bagian lalu lintas kepolisian, akhir Juli lalu.

Dengan segala cara, Kepolisian memperlihatkan perlawanan atas upaya pembersihan di dalam tubuh mereka. Polisi sepertinya ingin menyembunyikan sesuatu yang lebih besar, sehingga kalau mungkin kasus simulator  SIM ini jangan dibawa ke KPK.

Tetapi Polisi tidak bisa melawan arus publik yang sudah tahu bahwa lembaga yang paling korup di negara ini adalah Polisi. Berbagai riset publik menunjukkan bahwa masyarakat menganggap institusi kepolisian sebagai lembaga paling korup.

Jajak pendapat Lembaga Survey Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa masyarakat menilai polisi gagal dalam menangani praktik korupsi internal.

Sementara survey Transparansi Internasional Indonesia  (TII) memperlihatkan bahwa 31 persen masyarakat menilai kepolisian sebagai lembaga paling korup. Untuk menenggarai pertikaian antara Polisi dan KPK, Presiden Yudhoyono sempat mengundang pimpinan kedua lembaga itu  untuk menyelesaikan masalah ini.

Hasilnya mengecewakan, karena dalam pertemuan itu Presiden tidak menunjukkan sikap yang tegas mendukung KPK dalam membersihkan korupsi di lingkungan polisi.

Duduk Manis

Majalah The Economist (edisi Agustus 2012) menulis judul Sitting Duck atau Bebek Duduk, menyoroti sikap pemerintah dalam mengatasi masalah korupsi. 

“Dia (pemerintah) tidak kelihatan seperti bebek lumpuh, tapi lebih seperti bebek yang sedang duduk manis“ tulis majalah itu sambil menambahkan “Dengan berbuat sedikit, pemerintah Indonesia terlihat baik-baik saja.”

Aktivis anti korupsi dari ICW, Emerson Yuntho menyebut Presiden tidak pernah betul-betul menunjukkan kepemimpinan dalam perang melawan korupsi.

“Ketika awal menjabat, setiap bulan rata-rata dua kali SBY pidato soal pemberantasan korupsi. Tapi publik hingga kini tak merasakan adanya perubahan” kata Emerson sambil menambahkan bahwa sikap Presiden yang membiarkan perang antara KPK dan polisi, adalah bukti bahwa pernyataan SBY soal pemberantasan korupsi hanyalah lips service.

Sikap duduk manis itu pula yang diperlihatkan Presiden Yudhoyono dalam menghadapi korupsi di sekitar dirinya. Kata Emerson, paling tidak ada 5 menteri aktif yang telah diperiksa KPK dalam kasus korupsi. Dalam sebuah pernyataan, Presiden juga mengaku dirinya tahu bahwa ada menteri yang korup.

“Tapi Presiden tidak mengambil langkah politik dengan memecat menterinya. Sikap serupa juga ditunjukkan SBY ketika menghadapi korupsi di Partai Demokrat. Sebagai ketua dewan pembina partai, dia hanya mempersilahkan mereka yang terlibat mengundurkan diri. Dia tidak mau mengambil resiko memecat pengurus yang korup“ kata Emerson.

Perang melawan korupsi adalah pertaruhan besar bagi masa depan Indonesia. Negara yang selama ini dianggap sebagai salah satu yang paling korup di dunia. Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan oleh Transparansi Internasional tahun 2011 menempatkan Indonesia di ranking 110 dari 178 negara, dengan skor 3. Sebagai catatan, skor tertinggi adalah 10.

Di kawasan ASEAN, Indonesia berada di bawah Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand. Survey Transparansi Internasional lainnya, menempatkan pengusaha asal Indonesia sebagai salah satu yang paling gemar menyogok ketika berbisnis di luar negeri.

Berdasarkan Bribery Payers Index atau Indeks Pembayar Suap di 28 negara, Indonesia menempati urutan keempat, di mana Rusia menempati urutan paling atas dalam perkara sogok-menyogok, disusul Cina dan Meksiko.

Berjalan di Treadmill

Banyak kalangan di Indonesia menganggap bahwa korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia. Kehadiran KPK kini sebetulnya menumbuhkan harapan baru bagi pemberantasan korupsi.

Tapi masalahnya, lembaga ini dikepung oleh politisi korup. Anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fahri Hamzah misalnya, berkali-kali mempersoalkan kewenangan KPK yang dianggap terlalu besar.

Beberapa anggota parlemen mulai menyuarakan keinginan untuk memangkas kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi. Mereka mengusulkan agar lembaga ini hanya mengambil peran pencegahan.

Sikap getol KPK menyidik korupsi di parlemen dan elit partai politik, diduga membuat para politisi gerah dan ingin membonsai peran lembaga pemberantas korupsi ini. Sinyalemen lain disampaikan Emerson yang mengaku cemas bahwa menjelang Pemilu 2014, praktik korupsi akan meningkat.

Partai butuh dana, dan mereka memanfaatkan kader-kader mereka di pemerintahan dan parlemen untuk menggalang dana untuk biaya kampanye.

“Pemberantasan korupsi ke depan ibarat jalan di atas treadmill, seakan-akan ada usaha, tapi sebetulnya tidak ke mana-mana,” tutup Emerson Yuntho. (SP)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar