Minggu, 05 Agustus 2012

Polri Serang Balik KPK?

ilustrasi
JAKARTA, (SUARA LSM) - Merasa dipandang sebelah mata dalam dugaan kasus korupsi pengadaan simulator SIM Korlantas, Mabes Polri kemarin (3/8), melakukan ’serangan balik’. Korps berbaju coklat itu mulai berang dengan sejumlah pemberitaan yang menyudutkan Polri dalam penanganan kasus korupsi senilai ratusan miliar itu. Bahkan, polisi bersikeras akan tetap melanjutkan penanganan kasus tersebut meskipun KPK juga menangani kasus yang sama.
Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri Komisaris Jenderal, Sutarman, kemarin  membeberkan alasannya kenapa ngotot melanjutkan penyidikan kasus tersebut. Sutarman menyatakan, fakta yang ia sampaikannya ini bukan untuk mengklaim siapa yang lebih dulu menyelidik kasus itu Polri atau KPK, tapi agar masyarakat menilai siapa yang lebih jujur dalam menyikapi kasus tersebut.
Menurut mantan Kapolda Metro Jaya itu, dirinya telah memerintahkan penyelidikan kasus itu sejak mengetahui informasi yang termuat di sebuah majalah tanggal 29 April 2012.  Menindaklanjuti informasi itu, maka pada 21 Mei 2012, ia mengeluarkan Surat Perintah Dimulainya Penyelidikan (sprinlid) untuk melakukan interogasi dan pemeriksaan terhadap 33 saksi yang dianggap mengetahui proyek itu.
"Saat pemeriksaan dengan saksi Sukoco S Bambang, penyelidik memperoleh informasi bahwa ada sejumlah data dan informasi yang juga telah diberikannya ke KPK. Kami kemudian menyurati KPK pada 17 Juli 2012 perihal dukungan penyelidikan yang isinya untuk meminta data dan informasi yang dimiliki KPK," tutur Sutarman saat jumpa pers di kantor Humas Polri, Jakarta Selatan, Jumat (3/8).
Saat itu, kata Sutarman, KPK sudah mengetahui dengan jelas bahwa Bareskrim sudah lebih dulu melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut. Namun, kata dia, pada 30 Juli 2012 lalu Ketua KPK  Abraham Samad mendatangi Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo untuk menyatakan bahwa KPK juga akan melakukan penyidikan  terhadap kasus itu.
"Kami juga sedang melakukan penyelidikan jadi Kapolri minta waktu satu dua hari pada KPK untuk mendiskusikan tindaklanjutnya penyelidikan ini, karena Polri akan tindalanjutkan ke penyidikan. Kemudian menindaklanjuti pertemuan dua belah pihak itu Bareskrim menghubungi ajudan Abraham untuk bertemu lagi presentasi kasus itu pada Selasa  31 Juli dan kedua belahpihak berjanji bertemu pukul 10.00 " tuturnya.
Sayangnya, kata dia, ternyata KPK tidak mengindahkan hasil pertemuan dengan Kapolri tersebut. KPK justru melakukan penggeledahan pada Senin (30/7) lalu, tanpa menunggu Polri melakukan presentasi terlebih dahulu hasil penyelidikan yang akan naik ke tahap penyidikan. Sutarman mengaku tak tahu mengapa KPK memutuskan hal tersebut, padahal belum selesai membahas kasus itu dengan Polri.
"Kita kan minta sudah minta waktu satu-dua hari kepada KPK, yaitu pada Selasa 31 Juli, tapi KPK justru lakukan penggeledahan tanpa seizin Kapolri, padahal ini kami sedang melakukan penyelidikan juga," tandas Sutarman.
Dilanjutkan Sutarman, dalam MoU antara KPK, Polri dan Kejaksaan Agung disepakati jika tersangka yang terlibat adalah penegak hukum tertentu, maka sudah harus ada pemberitahuan terlebih dulu pada pimpinan lembaga penegak hukum tempat tersangka bernaung. Tapi ini tidak dilakukan KPK. Polri justru tahu Djoko menjadi tersangka melalui media massa.
"Kalau ini tidak. KPK terabas MoU, tabrak MoU yang sudah ada. Padahal kalau menetapkan tersangka dari institusi penegak hukum itu harus tertulis. Tapi itu tidak lakukan. Karena sudah dilewati maka kita kembali kepada undang-undang," kata Sutarman dalam jumpa pers.
Ini juga dilakukan ketika KPK menetapkan tersangka pada anggota polisi lainnya yang terlibat kasus tersebut. Selain itu, KPK juga dianggap melanggar kesepakatan dengan Polri mengenai pembagian penetapan tersangka. Dalam pertemuan Kapolri Jenderal Timur Pradopo dan Ketua KPK Abraham Samad diketahui dua lembaga itu sepakat, KPK menangani kasus yang menjerat Irjen Djoko, sedangkan Polri mengusut pelaksana proyek di antaranya pejabat pembuat komitmen (PPK), pemenang tender, dan panitia lelang proyek.
Berdasarkan kesepakatan itu, 31 Juli 2012 Polri menetapkan Budi Santoso (BS) menjadi tersangka. Dilanjutkan pada 1 Agustus dengan penetapan tersangka Brigjen Didik Purnomo, AKBP TR, Kompol L dan Sukotjo Bambang (SB). Polri tak menyangka KPK pun menetapkan tersangka yang sama, yaitu Brigjen Didik, Budi Santoso dan Sukotjo Bambang pada Kamis 2 Agustus.
"KPK waktu pertemuan menyatakan telah menetapkan DS sebagai tersangka tapi tidak menyebut nama tersangka lainnya yang dari kepolisian. Selain itu KPK juga menyebut hanya akan menangani DS. Jadi silakan dinilai sendiri. MoUnya sudah tidak sesuai" pungkasnya.
Secara terpisah, wakil ketua KPK Bambang Widjojanto membantah keterangan tentang siapa yang tercepat dalam menyidik kasus korupsi tersebut. Bambang memastikan sudah lebih dahulu menyelidiki kasus simulator SIM daripada Polri. Menurut Bambang Widjojanto, kasus itu diselidiki KPK sejak Januari 2012. "Kami sudah melakukan penyelidikan sejak Januari 2012," kata Bambang.
Bambang juga menegaskan, kasus itu meningkat ke penyidikan sejak akhir Juli. "Sprindik dimulainya penyidikan terbit 27 Juli 2012," tuturnya.
   
Polisi Diminta Mundur
Dari DPR, wakil rakyat meminta Polri sebaiknya segera mempercayakan pengusutan kasus tersebut ke KPK. "Saya bisa mengerti perasaan Polri, mereka pasti juga ingin bersih-bersih diri di dapurnya sendiri. Tapi, karena ini sudah menjadi sorotan publik yang meluas, saya sarankan Polri dapat memberikan pengusutan kasus ini kpd KPK. Saya meyakini pimpinan KPK akan selalu berkoordinasi dengan pimpinan Polri untuk memastikan semuanya berjalan sesuai koridor hukum," kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, Jumat (3/8).
Menurut Priyo lembaga penegak hukum harus saling menghormati. Demi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. "KPK, Polri, dan Jakgung harus tetap bersatu, bersinergi dan saling menghormati. Mereka adalah 3 pilar penegak hukum yang hebat. Kalau terjadi tumbukan kita akan merugi sebagai bangsa," tegasnya.
Senada dengan Priyo, Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edy juga berpendapat KPK bisa mengambil alih kasus dugaan korupsi  simulator SIM tersebut. Ia meminta agar KPK dan Polri duduk bersama. "Ini kan ada beberapa sisi. Kalau dari sisi Undang-Undang jelas KPK punya kewenangan untuk mengambil alih untuk melakukan supervisi. Intinya leadernya KPK," kata Tjatur kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (3/8/2012).
Menurut Tjatur, MoU bisa ada kesepakatan khusus. Namun, kata dia, wewenang supervisi tetap di KPK. "Tapi selain UU ada juga MoU artinya kesepakatan bersama. Kalau dari sisi hukum memang KPK punya kewenangan. Tapi di atas hukum ada akhlak, ada etika dan kita lihat dari kemanfaatan. Saya melihat akan lebih bermanfaat kalau KPK-Polisi duduk bersama, musyawarah, dan ini memerlukan kebesaran jiwa keduanya. Tetapi tetap supervisi ada di KPK," papar Tjatur. (jpnn)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar