Kamis, 11 Oktober 2012

MK Tolak Menguji UU Intelijen Negara



JAKARTA,  (SUARA LSM) - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian sebanyak 16 pasal dalam Undang-undang (UU) nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara,  yang dimohonkan sejumlah LSM pemerhati HAM dan warga negara yang mengaku sebagai korban operasi intelijen.   

"Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Mahfud MD saat membacakan putusan di Jakarta, Rabu (10/10).   

Menurut Mahfud, pokok permohonan yang diajukan para pemohon tidak beralasan menurut hukum.   

Dalam pertimbangannya, mahkamah menilai adanya kekhawatiran pemohon terhadap keberadaan pasal yang dapat dijadikan legitimasi untuk disalahgunakan oleh pihak intelijen merupakan kekhawatiran traumatis berdasarkan sejarah.   

"Perubahan zaman menuntut perubahan paradigma intelijen. Intelijen merupakan lembaga yang dibutuhkan oleh negara," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan pertimbangannya.   

Oleh karena itu, lanjut Anwar, untuk menerapkan prinsip proporsional agar kebutuhan intelijen tidak diartikan dengan penyalahgunaan kewenangan intelijen maka perlu adanya pengendalian dan pengawasan dalam peraturan perundang-undangan pelaksananya.   

MK juga menilai dalam UU Intelijen ini secara tegas juga memisahkan fungsi intelijen dari fungsi penegakan hukum.   

"Fungsi penegakan hukum tetap harus dipegang oleh kepolisan dan kejaksaan, dan tidak dapat dipindahtangankan kepada aparat intelijen," katanya.   

Anwar mengatakan bahwa intelijen merupakan bagian dari sistem peringatan dini yang tidak memiliki kewenangan penindakan.   

Hakim Konstitusi Achmad Falil Sumadi mengatakan dalam UU Intelijen telah memberikan batasan dan prosedur yang jelas dalam melakukan penggalian informasi dan dengan memperhatikan hak asasi manusia.   
"Penggalian informasi yang dilakukan Badan Intelijen Negara (BIN) tidak dapat dilakukan sewenang-wenang," katanya.   

Mahkamah juga menyatakan kewenangan penyadapan yang diatur dalam UU Intelijen ini juga tidak bertentangan dengan UUD 1945.   

Hakim Konstitusi Akil Mochtar mengatakan sebagai penyelenggara intelijen negara, BIN menyelenggarakan ketiga fungsi intelijen yaitu penyelidikan, pengamanan dan penanganan, baik di dalam maupun luar negeri.   

"Kewenangan BIN tidak berarti kewenangannya tidak tak terbatas. Kewenangan BIN dibatasi oleh perundang-undangan maupun pengawasan ketat oleh DPR," kata Akil.   

Seperti diketahui, permohonan pengujian 16 Pasal UU Intelijen ini diajukan sebanyak 18 pemohon, diantaranya Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Elsam, Imparsial, Setara Institute, YLBHI dan sejumlah warga negara.   

Pemohonan perorangan ini di antaranya Mugiyanto, Hendrik Dikson Sirait, Asiah, Dorus Wakum, Abdul Bashir, Suciwati, Bedjo Untung, dan Edi Arsadad.   

Pemohon menilai ke-16 ketentuan bermasalah adalah Pasal 1 ayat (4), ayat (8), Pasal 4, Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa dan/atau Pihak Lawan yang merugikan kepentingan dan keamanan nasional bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.   

Pemohon mengatakan bahwa ketentuan di dalam beberapa pasal tersebut telah melahirkan sejumlah definisi karet mengenai ancaman, keamanan, kepentingan nasional, dan pihak lawan, sehingga potensial untuk disalahgunakan oleh penyelenggara intelijen negara maupun atau kepentingan kekuasaan, untuk melakukan tindakan-tindakan represif terhadap warga negara atau kelompok yang tidak sejalan dengan kepentingan kekuasaan. (Ant)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar