Jumat, 09 November 2012

Kasus Mafia Pulsa Masih Saja Mandek


Jakarta, (SUARA LSM) - Pengusutan kasus mafia atau maling pulsa mandeg. Berkas perkara tiga tersangka perkara ini tidak kunjung lengkap. Padahal, mereka telah ditetapkan sebagai tersangka sejak awal Maret 2012. 

Menurut Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung M Adi Toegarisman, jaksa penuntut umum (JPU) belum bisa melakukan proses penuntutan terhadap para tersangka kasus ini, sebab berkas perkara mereka masih belum lengkap.

“Untuk dua tersangka, sudah enam kali jaksa peneliti mengembalikan berkasnya ke penyidik kepolisian. Sedangkan, tersangka yang satu lagi sudah tiga kali dikembalikan. Banyak petunjuk yang belum dilengkapi,” ujar Adi di Gedung Kejaksaan Agung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan pada Selasa, 6 November. 

Adi menjelaskan, dua tersangka yang berkasnya enam kali dikembalikan ke kepolisian adalah atas nama NHB (Nirmal Hiro Barwani) selaku Direktur Utama PT Colibri Network dan KP (Kris­nawan Pribadi) selaku Wakil Direktur PT Telkomsel. “Pengembalian berkas untuk keenam kalinya kepada penyidik kepolisian, telah kami lakukan pada 9 Oktober lalu,” katanya.

Berkas yang dikembalikan itu, lanjut Adi, juga masih berisi sejumlah petunjuk dari jaksa pe­neliti yang mesti dilengkapi penyidik kepolisian. “Kami akan tunggu sampai petunjuk itu dileng­kapi,” ujar bekas Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta ini.

Untuk berkas tersangka yang ketiga, atas nama WMH (Windra Mai Harianto) selaku Direktur Utama PT Media Play dikembalikan untuk ketiga kalinya pada hari yang sama. “Untuk berkas WMH, dikembalikan juga, yang ketiga kalinya,” ucapnya.

Berkas ketiga tersangka itu dibuat secara terpisah. Petunjuk yang diberikan jaksa peneliti pun disampaikan secara terpisah. “Berkas berbeda dengan tersangka yang berbeda, displit,” ujar be­kas Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau ini.

Ketika ditanya, mengapa penanganan kasus ini begitu lama, Adi menyatakan bahwa pihaknya tetap menunggu kelengkapan berkas dari penyidik kepolisian. “Kami tetap berpegang pada ke­tentuan dan mekanisme hukum. Jika petunjuk yang diberikan jaksa belum lengkap, tentu belum bisa naik ke penuntutan. Jadi, masih di kepolisian,” katanya.

Sebagai latar, kepolisian menetapkan tiga tersangka kasus pencurian pulsa. Ketiganya disangka punya peran penting dalam kasus penyedotan pulsa konsumen.

Seperti pernah dijelaskan Boy Rafli Amar saat menjabat Kepala Bagian Penerangan Umum Polri, tiga tersangka itu adalah KP selaku Vice Presiden Digital Music Content Management PT Telkomsel. Tersangka kedua adalah NHB selaku Direktur PT Colibri Network. Tersangka ketiga berinisial WMH sebagai Direktur PT Mediaplay. 

Ketiga tersangka itu adalah penandatangan perjanjian kerjasama antara Telkomsel dengan pe­rusahaan penyedia layanan content provider.

Boy menambahkan, KP ditetapkan sebagai tersangka pada 8 Maret 2012. Sedangkan status dua tersangka lainnya ditetapkan penyidik pada 6 Maret 2012.

Dia menjelaskan, ketiga tersangka diduga melanggar Pasal 62 juncto Pasal 9 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 28 juncto Pasal 45 Undang Un­dang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, serta Pasal 362 dan 378 KUHP. “Masuk kategori pe­langgaran berlapis,” tandas Boy yang saat itu masih berpangkat Kombes. 

Kabareskrim Komjen Sutarman juga pernah menjadi korban pencurian pulsa. Ia mengaku per­nah mendapat ringtone dangdut, tanpa memesan. “Saya pernah dihubungi kok ringtone saya dangdutan, padahal saya cek sendiri saya tidak pernah mendaftar. Itu kalau sebulan tidak di unreg akan terus diperpanjang,” keluhnya.

Menurutnya, masyarakat tidak akan menyadari pencurian pulsa. Sementara pulsanya terus ter­potong. “Walaupun sebulan hanya Rp 6 ribu, tapi kalau yang langganan 10 juta, itu banyak sekali. Itu baru ringtone, belum yang ingin mendapatkan jodoh,” ujar Sutarman. 

Reka Ulang

“Maaf, Sistem Sedang Bermasalah”

Kepala Bareskrim Polri Komjen Sutarman mengaku, kasus pencurian pulsa konsumen ini, masih ditangani pihaknya. 

Tapi, dia beralasan, jajarannya butuh waktu untuk menjelaskan kepada jaksa, sehingga jaksa yakin bahwa para tersangka melakukan tindak pidana. “Kalau jaksa sudah yakin, hakim akan yakin,” katanya di Gedung DPR, Jakarta, awal Juni 2012.

Hal itu disampaikan Sutarman untuk menanggapi kecurigaan, apakah perkara yang merebak sejak Oktober 2011 ini, diam-diam dihentikan penanganannya. Saat itu, Sutarman juga menam­pik bahwa penanganan kasus ini lambat. 

“Kasus ini, barang buktinya adalah elektronik. Tempat dan waktu terjadinya tindak pidana ada di server besar itu. Saya pernah ibaratkan, seperti menangkap lalat di hutan Amazon. Saya tidak boleh keliru, kalau keliru, saya bisa mengambil data seseorang atau perusahaan,” ujarnya.

Pada kesempatan yang berbeda, Sutarman menanggapi positif semua petunjuk jaksa peneliti. Namun, dia menolak membeberkan substansi petunjuk jaksa yang belum dipenuhi penyidik Bareskrim. Hanya, Sutarman mengakui, banyak substansi yang harus dipenuhi polisi. 

Selain berupaya memenuhi petunjuk kejaksaan, Sutarman menambahkan, jajarannya juga me­ngembangkan kemungkinan keterlibatan operator lain. Seperti diketahui, kepolisian telah me­netapkan tiga tersangka kasus ini. Tapi, belum ada tersangka dari operator telepon seluler selain Telkomsel. 

Kasus pencurian pulsa antara lain dilaporkan konsumen bernama Feri Kuntoro. Dia mengadu ke Markas Polda Metro Jaya pada 4 Oktober 2011. 

Feri merasa dirugikan karena harus membayar tagihan pasca bayar hingga ratusan ribu rupiah setelah registrasi undian berhadiah melalui SMS premium ke nomor 9133. Registrasi itu didu­ga menjerat Feri. Dia sering menerima SMS berupa informasi seputar artis dan nada dering. Setiap kali menerima SMS dari nomor itu, pulsa Feri terpotong tanpa persetujuan.

Feri mengaku telah berusaha menghentikan layanan SMS dengan mengetik unreg dan mengi­rimkannya ke nomor tersebut. Namun, usahanya itu selalu gagal dan ia hanya mendapat jawaban “Maaf, sistem sedang bermasalah, silakan ulangi lagi”.

Lantaran terus-menerus mendapatkan jawaban senada, Feri kemudian mengadukan masalah ini ke Grapari Telkomsel di Gambir, Jakarta Pusat. Namun, kata dia, jawaban petugas di sana ku­rang memuaskan. Akhirnya, Feri melaporkan kasus tersebut ke Markas Polda Metro Jaya. 

Kasus tersebut kemudian diambil alih Mabes Polri. Soalnya, laporan mengenai penyedotan pulsa terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. “Kasus ini bukan hanya terjadi di lingkup Polda Metro, tapi juga di daerah lain, sehingga kami ingin penyelidikannya satu pintu, dilakukan Mabes Polri,” ujar Kabidhumas Polda Metro Jaya saat itu, Kombes Baharudin Djafar.

Penanganan oleh Mabes Polri, diharapkan mampu menekan beda argumen antar penyidik pol­da-polda, sehingga langkah penyidikan, penerapan pasal, dugaan kerugian konsumen serta pe­nuntasan kasus ini bisa berjalan searah.

Pelimpahan perkara ini ke Mabes juga untuk memudahkan koordinasi Polri dengan lembaga tinggi negara lain seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika  serta Panja Mafia Pulsa DPR. Kendati begitu, kasus ini mandeg. Soalnya, para tersangka kasus ini tak kunjung naik ke penuntutan.

Mesti Ada Kepastian Proses Hukum

Alvon Kurnia Palma, Direktur YLBHI

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma menyampaikan, para tersangka kasus pencurian pulsa bisa segera dibawa ke proses penun­tutan bila penyidik kepolisian serius memenuhi petunjuk jaksa peneliti.

Bila berlama-lama atau tidak mampu melengkapi petunjuk tersebut, kepolisian bisa dinilai tidak kuat dalam melakukan penyidikan terhadap para tersangka kasus mafia pulsa. Bahkan, masyarakat bisa curiga, ada apa di balik mandeknya penanganan kasus ini. 

“Ini sangat tergantung legal annotation dari kejaksaan. Apa saja yang diminta dalam legal annotation tersebut, ya harus dilengkapi kepolisian,” katanya.

Proses bolak-balik berkas dari kejaksaan kepada kepolisan ini disebut P19, tapi tidak ada batasan waktu dan kuantitas tentang berapa kali harus diperbaiki. Kendati begitu, menurut Alvon, harus ada kepastian dalam proses hukum. 

“Ini merupakan suatu kelemahan dalam KUHAP kita, jadinya bisa berlindung pada kelemahan itu,” katanya.

Sebaliknya, Alvon juga mengingatkan, apabila penyidik kepolisian telah melengkapi bukti-bukti dan saksi yang didapat secara sah untuk merumuskan dakwaan dan pasal untuk penuntutan, maka wajib bagi kejaksaan untuk segera menerima pelimpahan ini. “Dan, melanjutkannya ke penuntutan,” tandas dia.

Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah, para tersangka kasus maling pulsa ini tidak ditahan. Padahal, kasus ini ditengarai merugikan masyarakat luas. Tidak adanya penahanan itu, menurut Alvon, menimbulkan persoalan. 

“Itu masalah serius, mengapa tidak ditahan. Lantaran itu, penanganan kasus ini patut di­curigai,” ujarnya. 

Masyarakat Curiga Kenapa Mandek

Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menilai, proses pelengkapan berkas tersangka agar segera P21, bukanlah hal yang sangat sulit. Soalnya, penyidik sudah memiliki bukti dalam melakukan penetapan tersangka. 

Jika petunjuk itu tidak kunjung dipenuhi, maka kinerja penyidik dan para pimpinannya dapat dipertanyakan. Bahkan, masyarakat akan curiga, kenapa kasus tersebut mandek. “Saya me­nyampaikan prihatin atas kinerja kepolisian dalam menangani kasus ini,” ujarnya.

Makanya, Eva meminta kepolisian melakukan pengawasan internal dan mengevaluasi kinerja mereka dalam penanganan perkara seperti ini. “Sepatutnya, Bareskrim melakukan evaluasi, kenapa berkas para tersangka kasus ini tak kunjung lengkap,” saran politisi PDIP ini.

Apabila tidak ada langkah maju, menurut Eva, maka Komisi Hukum DPR akan melakukan fungsinya memanggil dan mengawasi aparat hukum, termasuk para pimpinan kepolisian. “Jika tetap berlarut-larut, maka Komisi III bisa meminta Polri untuk melakukan gelar perkara dalam rapat kerja dengan kami. Ini sebagai bagian dari pengawasan,” tandasnya.

Eva juga melontarkan kecurigaannya, mengapa Bareskrim Polri tidak bisa cekatan melengkapi berkas para tersangka kasus mafia pulsa. 

“Tidak seharusnya berlama-lama dalam melengkapi berkas itu, karena petunjuknya sudah spesifik,” katanya. 

Peneliti Konsorsium Reformasi Hukum Nasional Arifin Firmansyah juga mengingatkan, penanganan perkara mafia pulsa hendaknya tak sekadar bolak-balik kepolisian-kejaksaan, tapi mesti bergulir ke pengadilan.

Hal lain yang menjadi perhatiannya adalah keterbukaan. Jika materi berkas perkara dianggap masih kurang, hendaknya kepolisian dan kejaksaan mau membukanya secara gamblang. Dari keterbukaan itu, kata Arifin, masyarakat akan mendapatkan gambaran, belum lengkapnya perkara tersebut seperti apa. Soalnya, ketertutupan membuat publik kerap curiga dan sinis. “Jangan salahkan publik jika ada penilaian miring seperti yang terjadi selama ini,” ucapnya. [net]

0 $type={blogger}:

Posting Komentar