Jumat, 11 Januari 2013

75 Persen Pejabat Nikmati Layanan ‘Selangkangan’

ilustrasi

JAKARTA, (SUARA LSM) - Layanan ‘selangkangan’ atau layanan seks bagi pejabat negara bukan rahasia umum lagi. Meski tidak semua pejabat negara melakoninya, praktek layanan ‘selangkangan’ itu kerap kali dilakukan untuk mendapatkan proyek, meraih jabatan, dan lainnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tampaknya secara tidak langsung mengakui praktek itu berlangsung. Maka, KPK pun kini tengah menbgkaji untuk memasukkan pelayanan seks bagi pejabat negara atau pegawai negeri sipil (PNS) sebagai gratifikasi.
“Selain pemberian uang, layanan seks kepada pejabat itu memang ada. Biasanya untuk memuluskan suatu proyek besar. Dia menyatakan dari semua pejabat yang menerima suap, 75 persen diantaranya pasti menerima pelayanan seks,” ujar Koordinator Gerakan Indonesia Bersih, Adhie M Massardie kepada Harian Terbit, Rabu (9/1), seraya menyatakan dirinya tahu betul pejabat-pejabat yang mendapat layanan seks.
Menurutnya mantan Bendahara Partai Demokrat (PD) M. Nazaruddin yang kini terjerat berbagai kasus suap dan korupsi memberikan pelayanan seks bagi pejabat negara untuk memuluskan proyek di sejumlah kementerian. Nazar tegasnya kemungkinan juga memberikan servis seks kepada rekan-rekannya di Partai Demokrat agar mendapat dukungan sebagai pencari dana bagi partai berlambang mercy tersebut.
“Kalau KPK ingin mendalami soal service seks kepada pejabat negara, KPK bisa meminta informasi dari Nazaruddin. Saya yakin Nazar akan membongkarnya,” ujar Adi
Sementara itu, anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Frans Hendrawinata dihubungi terpisah mengemukakan, sesuai pasal 12 B UU No. 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, penerimaan pelayanan seks bagi pejabat negara jelas masuk gratifikasi. Itu kan semacam hadiah yang menyenangkan si pejabat terkait untuk mempengaruhi langsung atau tidak agar bersedia memenuhi keinginan si pemberi.
Menurut Frans, sebaiknya KPK mempercepat penjerimaan pelayanan seks termasuk kategori gratifikasi sehingga pencegahan terhadap prilaku korupsi bisa dimaksimalkan. Sebab, modus korupsi tidak hanya melalui transaksi uang tetapi juga dengan berbagai cara termasuk service seks bagi pejabat.
Dibeberapa negara dalam beberapa kasus pemberian gratifikasi dalam bentuk lain sempat diusut. Dicontohkannya, salah satunya salah satu pejabat di Singapura pernah dituntut karena dugaan gratifikasi layanan seks.
MENGKAJI
Secara terpisah Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja mengakui saat ini pihaknya tengah mengkaji apakah penerimaan pelayanan seks itu bisa dimasukkan kategori gratifikasi. Pengkajian ini merujuk pada konvensi internasional yakni United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Pandu Praja membenarkan pembahasan pidana bagi para pelaku gratifikasi seks ini sangat menarik. Apalagi jika nilai pelayanan seks tersebut bisa dinilai dengan rupiah. Sebab, selama ini dalam undang-undang yang ada kebanyakan peraturan mengenai sanksi gratifikasi terdapat batasan-batasan nominal rupiah. Untuk itu, aturan-aturan tersebut masih harus disempurnakan.
Sementara itu, Direktur Gratifikasi KPK, Giri Suprapdiono mengatakan, KPK akan mengkaji soal gratifikasi seks itu. Sebab undang-undang KPK menyiratkan gratifikasi tidak harus uang tunai, tapi bisa berupa diskon, dan kesenangan.
Dalam beberapa kasus, lanjut Giri, pemberian gratifikasi dalam bentuk lain sempat diusut. Salah satunya KPK Singapura pernah menuntut dugaan gratifikasi seks.
Ia menceritakan, seorang kepala badan penanggulangan narkotika di Singapura diadili dalam persidangan karena dianggap menerima gratifikasi dalam bentuk perempuan. Hal sama terjadi pada menteri pertahanan di sana.
SEUMUR HIDUP
Sebagaimana diketahui gratifikasi menurut penjelasan pasal 12B UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi meliputi pemberian uang, barang, rabat (potongan harga), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya kepada setiap pegawai negeri dan pejabat penyelenggara negara.
Ancaman bagi pejabat atau PNS yang terbukti menerima gratifikasi pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dengan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Gratifikasi menurut penjelasan pasal 12B UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi meliputi pemberian uang, barang, rabat (potongan harga), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya kepada setiap pegawai negeri dan pejabat penyelenggara negara. (Tim)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar