Selasa, 19 Februari 2013

Komnas HAM Tangani Konflik Antar Lampung


BANDAR LAMPUNG, (SUARA LSM) -  Dua orang komisioner Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) yakni Siti  Nur Laila dan Ansori mulai menangani konflik lahan antar warga  disekitar  kawasan hutan Reg 22  Way (Sungai. Red) Waya dengan penduduk  Pekon (Desa, Red)  Giri Tunggal, Madaraya dan Sumber Bandung yang terletak di Kecamtan Pagelaran Utara, Kabupaten Pringsewu, Lampung.   

"Konflik atau sengketa lahan itu sudah berlangsung belasan tahun karenanya kami sangat hati-hati menangani  dan tidak cukup mendengar keluhan masyarakat tapi kami juga akan mencari masukan ke Pemda Pringsewu dan aparat terkait lainnya," ujar Siti Nur Laila pada SP Senin (18/2).   

Karenanya Komns HAM akan melakukan kajian atas persoalan warga yang sudah berlangsung belasan tahun, sekaligus kami minta agar Polda Lampung bisa segera menindak tegas pelaku pelanggaran dan  mendesak pihak-pihak terkait agar segera menyelesaikan sengketa yang melibatkan warga masyarakat, paparnya.   

Kedatangan  Siti Nur Laila dan Ansori bersama beberapa staf di rumah Imam salah satu warga Margosari di sambut antusias masyarakat setempat, bahkan puluhan masyarakat itu rela tidak kesawah dan menunggu sejak pagi hari.   

Dalam pertemuan warga mengatakan  telah terjadi perampasan hak atas tanah garapan yang di miliki warga sejak tahun 1959. Selin itu,  masyarakat menilai telah terjadi jual beli aset milik warga oleh panitia kompensasi lahan yang bernama Makmun kepada masyarakat dan oknum pejabat seperti  Polisi, PNS serta pegawai kehutanan.   

Menurut Dayat salah seorang korban kompensasi, menyebutkan program kompensasi lahan seluas 170 ha awalnya adalah untuk pekon Sumber Bandung, tetapi entah bagaimana sampai melebar ke Pekon Giri Tunggal. 

Padahal Pekon Giri Tunggal tidak punya program konpensasi, tetapi karena ketua konpensasi lahan yang bernama  Makmun memaksakan kehendak sehingga sebagian lahan sekitar 75 ha milik warga Giri Tunggal di paksakan untuk dijadikan bagian dari lahan konpensasi.   

Selain itu, dirinya mengatakan sebagian warga yang lahannya tidak mau di kompensasi harus menebus antara Rp 7 hingga 11 juta/ha untuk sawah dan kebun seharga Rp 4 - Rp 7 juta/ha.

Sedangkan Warga Giri Tunggal sudah mengolah dan menggarap lahan persawahan itu sejak tahun 1959 dan setiap tahun membayar PBB, itu artinya pemerintah mengakui adanya hak marga dan bukan tanah register.   

Sementara itu, Agus Triana dari Serikat Petani, menjelaskan pada tahun 2003 di Sumber Bandung ada program kompensasi lahan seluas 175 ha, yaitu lahan marga akan di ganti dengan lahan register.   

"Tetapi panitia Makmun tidak bisa memenuhi lahan kompensasi seluas 175 ha, dan hanya bisa menyiapkan sekitar 100 ha, sedangkan yang 75 ha mengambil lahan dari Pekon Giri Tunggal. Yang 75 ha itulah yang kemudian merampas lahan warga hingga saat ini belum bisa dikembalikan," ungkapnya. (net)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar