Rabu, 03 April 2013

Denny Indrayana, Dari Satgas Mafia Hukum Hingga Wakil Menteri


Prof. Dr Denny Indrayana, LLM, Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum diangkat menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM 2011-2014. Guru Besar Hukum Tata Negara UGM yang juga pendiri Indonesian Court Monitoring dan bekas Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat), ini terkenal sebagai loyalis SBY.
Sebelum diangkat menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM pada 19 Oktober 2011 oleh Presiden 
Susilo Bambang Yudhoyono, Denny pernah menjabat sebagai Sektretaris Satgas Mafia Hukum (2009-2011) dan Staf Khusus Presiden bidang Hukum, HAM dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (2008-2011).
Sebelum masuk birokrasi pemerintahan, 
Denny Indrayana yang dikenal sebagai loyalis Susilo Bambang Yudhoyono adalah seorang aktivisyang kritis apalagi terkait dengan pemberantasan korupsi. Pria yang pernah menjadi konsultan KPK ini merupakan salah satu pendiri Indonesian Court Monitoring (ICM). Sebuah lembaga yang lahir atas dasar keprihatinan, akibat masih adanya mafia peradilan (judicial corruption) yang dapat memperjualbelikan keadilan dan merugikan masyarakat.
Selain ikut mendirikan ICM, Denny juga aktif pada Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada sebagai wadah untuk menyuarakan semangat anti korupsi. Masuknya Denny menjadi staf khusus presiden, sekaligus menjadi pengalaman pertamanya masuk birokrasi pemerintahan. Ia juga menjadi staf termuda berusia 35 tahun. Ia tidak menduga sebelumnya akan terpilih menjadi salah satu staf khusus presiden dari sekian banyak pakar hukum kenamaan di Tanah Air. Namun ia merasa bersyukur karena diberikan kepercayaan dan diberikan tanggungjawab besar yang membuatnya semakin tertantang untuk bekerja lebih keras dan memberikan yang terbaik.
Bagi sebagian pengamat, masuknya Denny ke dalam birokrasi pemerintahan menimbulkan sejumlah pertanyaan diantaranya, apakah ia akan tetap setia dalam jalur idealismenya sebagai pegiat anti korupsi yang kritis. Menanggapi hal itu, Denny mengatakan, tetap menyuarakannya kepada presiden, apalagi presiden sangat membutuhkan masukan terkait agenda pemberantasan korupsi. Cuma menurutnya, penyampaian harus melewati prosedur dan birokrasi.
Selama menjadi 
Aktivis, Denny menekankan pada unsur konseptual dan advokasi. Setelah menjadi staf presiden, ia lebih menitikberatkan pada bobot konseptual. Sedangkan unsur advokasi menjadi bagian LSM seperti Pukat Korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW). Meski demikian, Denny tetap menjaga komunikasi dengan pihak-pihak di luar sistem.

Denny Indrayana lahir di Kota Baru, Pulau Laut, 
Kalimantan Selatan, 11 Desember 1972. Di sebuah pulau kecil, paling selatan dari Pulau Kalimantan. Ayahnya yang bekerja sebagai karyawan BUMN di PT Perhutani II membuatnya harus berpindah-pindah kala orangtuanya pindah tugas. Karenanya ia sempat sekolah di SD Manokwari Irian Jaya. Namun hanya sampai kelas tiga, setelah itu kembali lagi ke 
Kalimantan Selatan dan sekolah di sana hingga lulus SMA.
Pada tahun 1991, 
Denny Indrayana melanjutkan studi ke Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan berhasil meraih gelar sarjana hukum pada tahun 1995. Pada tahun 1999, setelah mendapatkan beasiswa ADS (Australian Development Scholarship), Denny kembali mengambil program master hukum dan behasil meraih gelar LL.M dari Universitas Minnesota, USA pada tahun 2001. Dua tahun kemudian, ia mengambil program doktoral ke Fakultas Hukum Universitas Melbourne, Australia. Ia berhasil menyelesaikannya dan menjadi doktor termuda dari UGM yang lulus pada tahun 2005 dengan tesis: Reformasi Konstitusi Indonesia 1999-2002: Evaluasi pembuatan konstitusi masa transisi.
Sebagai seorang akademisi, ia mengawali karirnya dengan menjadi dosen di Universitas 
Muhammadiyah
Yogyakarta (2000-2001) namun hanya setahun. Tahun 2001, ia menjadi dosen di almamaternya UGM. Di sana ia menjabat sebagai 
Direktur Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi, Fakultas Hukum UGM (2005-2008). Ia juga menjadi salah satu pendiri sekaligus menjadi 
Direktur ICM (Indonesian Court Monitoring) tahun 2008. Denny juga tercatat mengajar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Denny baru resmi menyandang gelar profesor Universitas Gadjah Mada saat berumur 38 tahun tepatnya pada 1 September 2010.
Sebagai pegiat anti korupsi baik di ICM dan Pukat, Denny berobsesi untuk membasmi mafia peradilan dan lantang menyuarakan anti korupsi. Itu terlihat tatkala menjadi Sekretaris Satgas Pemberantas Mafia Hukum (PMH). Aksi dan pernyataannya sering membuat para pengamat dan 
politisi menjadi gerah. Sebagai Sekretaris Satgas PMH, sekitar medio bulan Mei 2010, wajah Denny Indrayana sempat menjadi populer dan sering menghiasi layar kaca televisi karena sering melontarkan pernyataan yang dinilai kontroversial. Iapun dinilai hanya mencari sensasi belaka untuk kepentingan pribadi.
Posisinya pun sempat dipertanyakan soal keterlibatannya dalam penanganan kasus Gayus Tambunan, tersangka penyelewengan pajak. Aksi Denny mengunggah bagian paspor atas nama Sony Laksono dengan foto mirip Gayus Tambunan yang mengenakan wig dan kaca mata, melalui akun twitter miliknya mendapat kecaman dari anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun. Denny dalam hal ini menurut Gayus Lumbuun seharusnya mengkonfirmasi ke penegak hukum, tidak mengunggah paspor ke Twitter karena makin membuat masyarakat bingung.
Seperti diketahui, Gayus Tambunan yang terlibat kasus pajak sempat melarikan diri ke Singapura, tidak berapa lama setelah Satgas bertemu dengan Gayus Tambunan. Hal ini membuat sejumlah kalangan bertanya-tanya tentang kaburnya Gayus ke luar negeri. Herannya lagi, tidak lama kemudian, satgas bisa membawa dengan cepat Gayus kembali ke Indonesia.
Melihat satgas berpolemik dengan 
politisi, Gayus Tambunan yang merasa di atas angin memanfaatkan situasi. Gayus bahkan menuding satgas sebagai sutradara di balik kasus mafia pajak. Namun dengan tenang, Denny membantah tudingan tersebut dan menyatakan bahwa pernyataan yang dilontarkan Gayus tidaklah benar.
Tindakan Denny memang sempat membuat sejumlah 
politisi Senayan berang. Mereka meminta agar satgas yang dibentuk 
Presiden SBY dibubarkan karena dianggap membahayakan dan tidak sesuai dengan tujuan awal. Bahkan Komisi III melihat keberadaan satgas, tidak ubahnya sebuah lembaga superbodi yang kewenangannya melebihi KPK, Polri, dan Kejaksaan.
Meski demikian, Denny menilai bahwa desakan-desakan tersebut sungguhlah tidak tepat di tengah upaya pemerintah menggalakkan pemberantasan korupsi. Baginya tidak ada beban jika satgas dibubarkan. "Kalau Satgas mau dibubarkan, saya sih senang-senang saja karena akan meringankan tugas saya, tetapi apakah waktunya tepat?" kata Denny kepada media.
Tidak hanya DPR yang tersulut dengan pernyataan Denny, Polri juga sempat dibuatnya resah. Mabes Polri mengkritik pernyataan Denny Indrayana yang menduga ada keterkaitan rekening gendut para petinggi Polri dengan mafia hukum. Mabes Polri pun meminta Denny membuktikan pernyataannya mengenai dugaan praktek mafia hukum dan kepemilikan rekening gendut perwira 
polisi di Mabes.
Begitu juga saat menjabat sebagai Wakil 
Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana bersama BNN (Badan Narkotika Nasional) melakukan inspeksi mendadak di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Provinsi Riau pada 3 April 2012. Denny diduga menampar petugas lapas karena tidak segera membuka pintu sehingga membuat rombongan tertahan tidak bisa segera masuk. Sidak dilakukan terkait informasi yang diterima bahwa ada transaksi narkoba dalam lapas.
Denny sendiri membantah melakukan hal tersebut. Namun kritikan datang bertubi-tubi dan menjadi berita headline di berbagai media. Di sisi lain, tidak sedikit masyarakat yang memuji dan mendukung sikap Denny tersebut. Sebab bukan rahasia umum lagi kalau lapas sudah menjadi sarang transaksi narkoba.  Bio TokohIndonesia.com | san, red

0 $type={blogger}:

Posting Komentar