Jumat, 19 April 2013

Kasus Ijazah Palsu Bupati Lebak Kembali Disoal


LEBAK,  (Suara LSM) - Kasus dugaan ijazah palsu yang digunakan Bupati Lebak H Mulyadi Jayabaya dalam dua kali pemilihan yakni periode 2003-2008 dan 2008-2013, kembali dipertanyakan oleh sejumlah kalangan di wilayah Kabupaten Lebak. Sebab hingga kini kasus pidana pemalsuan ijazah itu masih ditangani oleh penyidik kepolisian, dan status Mulyadi Jayabaya sebagai tersangka. 

"Kasus dugaan pemalsuan ijazah paket C atau persamaan untuk tingkat SLTA memang sudah dihentikan oleh kepolisian dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada tanggal 29 Juni 2009 lalu. SP3 itu dikeluarkan pada zaman Polda Banten dipimpin oleh Brigjen Pol Rumiah Kartoredjo. Itu hanya khusus untuk dugaan pemalsuan ijazah ujian persamaan SLTA, bukan ijazah SMP. Pemalsuan itu tidak hanya ijazah paket C tetapi juga ijazah SMP," ujar salah seorang tokoh masyarakat Lebak, yang tidak mau namanya ditulis, kepada SP, Rabu (17/4). 

Dia menjelaskan, status tersangka Bupati Lebak H Mulyadi Jayabaya sudah terjadi sejak tahun 2003 silam. Namun, kasus pemalsuan ijazah itu tidak mampu diselesaikan oleh pihak Polda Banten. Berkas perkara bolak balik antara Polda Banten dengan Kejati Banten sehingga pada akhirnya dihentikan oleh Polda Banten dengan alasan tidak memiliki cukup bukti. Padahal buktinya sudah sangat jelas yakni ijazah paket C yang dilampirkan Mulyadi Jayabaya dalam dua kali pencalonan untuk menjadi bupati Lebak.

"Kami memiliki data bahwa salah satu LSM di Lebak bernama FKMPBB pernah melaporkan H Mulyadi Jayabaya ke Mabes Polri dengan tanda bukti laporan No. Pol: TBL/218/VII/2008/SIAGA-III, tanggal 18 Juli 2008, atas dugaan telah membuat surat palsu dan atau memalsukan surat otentik sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 dan pasal 266 KUH Pidana, di mana H Mulyadi Jayabaya ditetapkan sebagai tersangka. Laporan itu tidak hanya terkait kasus pemalsuan ijazah paket C tetapi juga kasus dugaan pemalsuan ijazah SMP. Kasus pemalsuan ijazah SMP ini tetap menggantung sampai sekarang," tegasnya. 

Berdasarkan catatan SP, kasus dugaan ijazah palsu paket C yang digunakan Jayabaya sudah terungkap sejak Jayabaya mencalonkan diri menjadi bupati pada tahun 2003. Bahkan status Jayabaya sudah ditetapkan menjadi tersangka pada saat itu. Namun, sejak tahun 2003 hingga pertengahan 2009, kasus tersebut mengendap di Polda Banten. Polda Banten tidak mampu melengkapi berkas perkara sesuai permintaan Kejati Banten. 

Akhirnya, pada tanggal 29 Juni 2009, Polda Banten mengeluarkan SP3 dengan Nomor SP.Sidik/36/VI/2009. Kasus dugaan pemalsuan ijazah SMP baru terungkap pada tahun 2008, ketika Jayabaya mencalonkan diri menjadi bupati Lebak untuk kedua kalinya. Pada saat itu sejumlah organisasi dan mahasiswa menolak pencalonan Jayabaya. 

Namun, KPU Lebak tetap meloloskan Jayabaya menjadi calon sehingga kemudian pasangan calon lain menggugat KPU Lebak secara perdata ke pengadilan, bahkan hingga kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Putusan kasasi pada akhirnya dimenangkan KPU Lebak. 

Direktur Eksekutif Aliansi Lembaga Independen Peduli Publik (ALIPP) Suhada S Sos menegaskan, aparat penegak hukum seharusnya mengedepankan prinsip equality before the law (persamaan di depan hukum) untuk semua warga negara. Tidak jelasnya hasil penanganan kasus ijazah palsu Jayabaya oleh kepolisian disebabkan oleh kecenderungan bersikap diskriminatif terhadap proses hukum yang ada. 

"Kalau kasus itu terkait dengan masyarakat biasa pasti cepat ditangani. Sementara kalau terkait dengan pejabat sengaja dibuat tidak jelas, sehingga pada akhirnya terpaksa di-SP3-kan. Kita sangat merindukan keadilan hukum di negri ini. Karena itu saya sangat mengharapkan, pihak kepolisian masih memiliki komitmen penegakan hukum. Kasus dugaan ijazah palsu SMP yang digunakan oleh Jayabaya itu peru diusut secara tuntas. Tunjukkan keadilan hukum itu kepada masyarakat," tegasnya. (net)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar