Minggu, 25 Agustus 2013

Da’i Kondang, Kamu Kok Jadi Bintang Iklan?

Oleh : Ernest Hendri
Jam’aaaaah, Alhamdulillah.” itulah jargon populer dari seorang Da’i yang sedang naik daun saat berkotbah di salah satu TV swasta. Kata-kata itu begitu akrab, sampai anak kecil yang berumur 1 tahunpun membalas suhutan “Jama’aaah…” Alhamdulilah. Bangga rasanya mendengar kalimat itu, walaupun pendek tapi jadi “generic” jadi bahan keakraban pertemanan, yang membuat sedikit releks dari kebuntuan suasana, yang mengubah suasana yang tadi agak kaku menjadi tawa renyah, dan suasana pun cair, benar-benar “breaking the ice.”
Tapi alangkah kagetnya tak alang-kepalang, kata-kata itu “Jama’aaaah….Alhamdulilah” sudah dibajak, dan dijual murah oleh sang Da’i, the raising star, dengan harga murah. Merendahkan martabatnya, dengan kesombongan jargon produk operator telekomunikasi selular. Bukankah kesombongan atau riyah musuh utama agama yang diajarkannya di televisi di pagi hari, dan acaranya bahkan sering kali diulang lagi. Bukankah modal utama seorang Da’i adalah idealisme yang tak bisa dibeli, dengan harga apapun.
Apakah Da’i ini lupa kalau dia tidak boleh memihak pada produk apapun, pada sesiapapun, pada partai apapun, kecuali pada kebenaran agamanya. Apakah dia ragu dengan apa yang dikabarkan oleh kitab sucinya, bahwa rezeki itu akan datang dari arah yang tidak disangka-sangka, jika sekiranya kamu bertaqwa,” bukan dengan menggiring jamaah untuk membeli salah satu produk yang membayarnya. Apakah dirimu jadi Da’i hanya sebuah lelucon saja? Terus terang saja jangan jual agamamu, agamaku dengan begitu murah.
Apakah Da’i muda ini lupa kalau masa depannya masih panjang, tidakkah dia belajar dari seorang Da’i kondang sejuta umat, yang masuk ke dunia politik, yang membawa dia kepada banyak fitnah yang merendahkan dia, sehingga populeritas dia di mata umat jadi berkurang. Bukankah tindakan ini juga akan membuat da’i-da’i idealis lain juga dilecehkan, disamakan dengan dirinya, kalau da’i itu tak ubahnya seorang artis, walaupun dia tidak beragama islam tapi dia bisa memerankan film atau sinetron bertemakan islam. Apakah itu tidak berarti “lain dimulut lain di hati”, apakah dia lupa kalau orang yang “lain di mulut, lain di hati” itu adalah “orang munafik”, manusia yang paling perlu diwaspadai, srigala berbulu domba, yang akan menjadi penghuni “neraka jahanam.”
Apakah operator itu salah merekrut Da’i “the raising sun” ini? Sama sekali tak salah, itulah teori marketing, kenalkan produk Anda dengan figur terkenal. Kapan perlu identikan produk Anda dengan figur terkenal itu, apalagi kalau yang mempromosikan produk Anda seorang Da’i, idealnya “manusia berhati malaikat”. Apapun ucapan, gaya, dan tindak-tanduknya akan diikuti jama’ah nya, sehingga orang yang memakai produk yang dipromosikannya pun mengucapkan “Alhamdullulah”, walaupun masih ada komplain di sana sini.
Mungkin operator ini terinspirasi oleh produk susu yang memakai “Mama” untuk mempromosikan produknya. “Mama” ini tahu benar kalau dia seorang Da’i yang berapi-api mengabarkan kebaikan, yang diikuti oleh ribuan, bahkan jutaan majelis taklim yang nota bene kebanyakan ibu-ibu. Ibu rumah tangga yang membelanjakan uang suaminya, digiring untuk membeli produk susu berenergi. Dengan predikat Da’inya, orang yang tahu agama, tentunya “jujur,” apa yang dikatakannya, sesuai dengan harapan dan pesan sponsor.
Saya kagum, saya bangga, bahkan selalu mengikuti ceramahmu, walaupun itu hanya untuk mendengarkan kicauan lucumu, diiringi oleh gayamu yang luar biasa lucu. Tapi tolong lah jangan dengan sedikit uang dirimu yang Da’i pujaanku, mengecewakan diriku, keluargaku, tetanggaku, dan mungkin jama’ah yang lain yang sudah terlanjur mengidolahkanmu, berhentilah dirimu memperalat agama, apapun itu alasannya, kecuali untuk kebaikan umat itu sendiri. Mohon Maaf Da’iku, aku jamaahmu, “benar-benar kecewa.”

0 $type={blogger}:

Posting Komentar