Selasa, 11 Februari 2014

Rakyat Bermandikan Keringat, Pejabat Bermandikan Uang dan Kekuasaan

“Mencari Titik Hubungan Kekuasaan, Kekerasan dan Korban di Papua”

Ilustrasi

*Oleh: Dominggus Pigay
Di Papua, kekerasan sangat murah harganya dalam transaksi hubungan kekuasaan
kepada rakyat. Kekerasan dalam berbagai bentuk dan sifat yang dilakoni para aktor,
tidak hanya mempergunakan kekuasaan tetapi juga menggunakan sumber-sumber
lainnya diluar otoritas kekuasaan.
Variabel kekerasan yang dipersepsikan tidak lepas dari perebutan dimensi tahta,
keuangan dan sumber daya lainnya dalam jumlah yang melebihi standar yang
optimal.
Meraup keuntungan dengan menikmati selera yang berlebihan digerakan oleh suatu
mata rantai ketamakan yang terbangun dalam suatu sistem sosial yang terintegrasi
secara parsial.
Menguras energi sosial dengan jembatan konstitusi sebagai usaha untuk meredam
konflik antara para pemborong kekuasaan, dikonstruksikan dalam lingkaran atau
ring-ring sosial yang berderajad. Derajad kekuasaan dalam sistem birokrasi ini
dimaksudkan untuk memperhalus dinamika kekerasan dalam sistem sosial yang
tertutup.
Meskipun, jarak sosial antara pemangku kekuasan dan rakyat bersifat hierarkhi
sosial-formal, namun terkadang para pesulap kekuasaan ini menggunakan
hubungan-hubungan sosial dan kepentingan untuk membangun sebuah “kekuatan
baru” di luar sistem sosial dan birokrasi yang memperlancar dinamika kekerasan
dalam ruang-ruang yang normal.
Bayang-bayang kekuatan baru yang dibentuk ini selain memberi manfaat secara
signifikan bagi pemangku kepentingan kekuasaan tetapi juga komunitas sosial di luar
lingkaran atau ring kekuasaan menjadi sebuah tameng dan objek kekuasaan dari
pihak-pihak lain.
Sifat-sifat bayang kekuasaan tidak hanya menjadi sapi perahan bagi para pemegang
kekuasaan. Tetapi juga pengelolah kekuasaan tanpa sebuah prosedur dan
mekanisme sosial yang terbangun dalam pengontrolan sistem tertulis.
Pada titik kekuasan tanpa memiliki hubungan yang melekat pada sistem politik akan
membuat goncangan kekerasan para pencipta kekerasan.
Formula sosial yang dirujuk dalam hubungan dengan bayang-bayang kekuasaan di
luar lingkaran kekuasaan yang resmi selalu disetting dalam rangka mengemas
paket-paket baru dalam sampul keamanan dan ketertiban.
Gejala sosial yang memblokir dinamika kekuasaan secara massal dilakukan karena
bentuk-bentuk kesepakatan para pihak mengalami goncangan. ketidakstabilan
hubungan antara rakyat pada pelayanan kekuasaan yang bertolak belakang dengan
standar kesepakatan.
Rakyat dan gerakan perubahan diciptakan pemangku kekuasaan dalam formula
kebijakan resmi sebagai alat legitimasi publik dan alat tawar sosial. posisi dan peran
regulasi sebagai kekuatan baru biasanya mengikat komitmen dan kepercayaan.
jaminan peraturan yang tidak terkontrol secara tepat oleh rakyat tetapi menggunakan
pihak ketiga sebagai wasit membuat kecurigaan antara kombinasi baru
Sistem kekuasaan di Papua terbagi dalam tiga hubungan kelembagaan masyarkat.
Hubungan Perwakilan Adat, Pemerintah Pusat, dan Perwakilan Politik Rakyat.
Tipologi Kekuasaan para pemangku kekuasaan ini masih memiliki hubungan formal
dengan Jakarta tetapi hubungan moral dengan masyarakat Papua. Koneksi yang
melekat sumber kekuasaan negara membuat kebenaran moral didefinisikan dalam
teori kekuasaan yang sifatnya memperkuat derajad legitimasi negara
Bayang-Bayang pusat kekuasaan ikut membayangi pola dan pendekatan Pilar Adat ,
pilar agama, pilar perempuan dalam posisi komunitas terbatas.
Keberpihakan social terhadap pendekatan kemanusiaan dilaksanakan dengan
memahami pengingkaran dari sebab- sebab kekuasaan. Sudut pandang lembaga-
lembaga sacral yang mengabdi pada kebenaran transendetal tidak dapat menjadi
sarana kompromi terhadap subjek kekerasan yang massif.
Sistem social yang tumbuh melalui inisiatif local masyarakat dalam rangka memberi
sumbangsih penyelesaian konflik dilihat sebagai suatu relasi kontradiksi. Pengguna
kekuasaan menyadari bahwa tingkat memenuhi suatu kewajaran dalam suatu relasi
ditafsirkan dalam hubungan yang berdimensi lapis. Supaya kekuasaan berjalan
maksimal, kontak historis dalam perbedaan social menyerupai hubungan vertical.
Pola-pola keseimbangan tentang siklus kekerasan dalam tiap unit-unit social secara
kontinyu berjalan dalam style sprit yang menanggung beban kekuasaan. Keresahan
pada lingkaran actor kekuasaan Negara menjadi sebuah konsultasi social dengan
menggunakan media public dalam mencetak pengetahuan baru dalam komunitas
yang rendah.
KEKUASAAN
Kekuatan yang terbangun dalam pilar adat, pilar agama, pilar pemerintah belum
memiliki spesifikasi dan batasan kewenangan yang jelas. Carut dan Marut tentang
wajah kekuasaan masih tumpang tindih.
Negara berusaha menghilangkan pengaruh dan legalitas adat sebagai otoritas
pemegang mandate kultur. Negara berusaha mengontrol adat dengan maksud untuk
mendapat legitimasi public menimbulkan kevakuman dan kehilangan spirit kultur
yang orisinil.
Spirit kebudayaan ada pada system adat. Ketika peran Negara berusaha
mendominasi adat kehidupan bangsa sedang mengalami krisis cultural. Identitas
social sebagai pilar pertama kehidupan Negara akan kehilangan energy dasar dalam
membangun kesepahaman organisasi Politik.
Tipologi kepemimpinan Representasi Kultural dengan kekuasaan pemerintah Negara
dilepaskan dari hubungan hirakhis. Kekuasaan Pilar Adat adalah Kekuasaan Kultural
yang berbada dengan kekuasaan Pemerintah/ Negara yang berhubungan dengan
kekuatan organisasi Politik modern yang berhubungan dengan sumber-sumber politik
modern.
Pilar agama yang sebagai pemegang mandat spiritual tentu berbeda dengan
kewenangan pemerintah Negara. Negara dengan kekuasaan sumber politik yang mau
menekuk dan mengontrol peran iman lembaga spiritual dapat membuat Negara
menjadi lemah dalam menerjamahkan pikiran-pikiran rasional dan kritis. Kekuatan
agama bersandar pada komitmen iman yang bermuara pada keyakinan yang
berorientasi untuk memperbaiki hubungan moral dan menyatakan manifestasi kuasa
Tertinggi dari Tuhan.
Hubungan Negara sebagai organisasi politik yang mau mengontrol kekuasaan adat
dan agama masih memiliki kelemahan-kelemahan. Negara menjadi Krisis, Agama
pun menjadi kehilangan kekuatan profetis bahkan adat sebagai komponen kekuasaan
basis hilang kemandirian dalam melaksanakan misi dan nilai-nilai dasar.
Kekerasan di tanah Papua
Kombinasi tiga sumber kekuasaan (Adat, Negara, agama) dalam bentuk hirarki
kekuasaan tunggal menyebabkan gejala ketidakseimbangan antara kekuatan-
kekuatan social. Dominasi Negara dengan memposisikan peran adat dan agama
dalam konstitusi yang keabsahannya dikontrol oleh sekelompok pemangku kekuasan
tertentu akan mempengaruhi karakter social masyarakat.
Kekerasan secara structural melewati batasan karakteristik social. Struktur kekerasan
di Papua berawal dari konsep Negara yang meminimalisir peran lembaga agama dan
lembaga adat. Kontrak ataupun perjanjian antara Negara dan pilar-pilar social
ditekan dengan cara membatasi struktur-struktur masyarakat yang memiliki legalitas
tertentu.
System social yang hancur akibat retaknya modal social dikarenakan oleh kuatnya
system Negara yang mengendalikan regulasi public dengan mengabaikan komponen
jarak social masyarakat .
Konsekuensi logis dari rentannya produk lembaga-lembaga politik dan kekayaan
luhur masyarakat yang menjadi simbol identitas pemersatu kultur dieliminasi karena
pertimbangan kekuasaan semata.
Kultur kekerasan lahir karena kepentingan social yang tidak berimbang. Mekanisme
kekerasan berjalan dalam dinamika reguasi yang belum memiliki stok kekuasaan
yang seimbang antara pusat kekuasaan dengan daerah pinggiran kekuasaan.
Standar kekerasan karena faktor mixing kultur yang belum jelas dalam dinamika
kebudayaan di Papua membuat ketegangan social lahir sebagai alasan pembenaran
kekuasaan untuk mengatur system Negara yang belum memahami secara matang.
Standar Negara dalam membuat formulasi social melalui system Negara dalam
sebuah keterpaduan dengan pendekatan antroposentris menjadi bingkai social baru.
Kontak social yang multi-variable harusnya ditafsirkan dalam nuansa fenomena
kultur yang harus terpisah dari elemen-elemen politik yang sarat dengan
kepentingan.
Persoalan rakyat dalam dimensi Negara tidak cukup dilihat dalam kaca pandang
Negara yang gagal menyusun sebuah konstitusi secara independen tetapi lebih juga
kepada hubungan non formal melalui mekanisme social dalam tradisi masyarakat
local sebagai media yang akomodatif dan transformative dalam unit social
masyarakat. Simbol-simbol kekerasan yang bertajuk cultural menjadi masalah
Negara dalam memahami suatu fakta dan system social yang telah terkontaminasi
dengan model pemikiran yang agresif.
Tipologi kekerasan karena struktur, peristiwa dan cultural dapat dilihat dalam scope
actor social yang memainkan game dalam ranah social yang kompleks sebagai
bagian dari resiko konfigurasi organisasi social yang mengabikan kelompok bawah
sebagai sasaran yang tidak diberi akses informasi dan format nilai-nilai baru.
Korban Warga Sipil Papua
Korban di Papua menjadi indicator kegagalan dari pilar agama, pilar adat, pilar
pemerintah yang mengusung konsep struktur dan pendekatan Yuridis dan Moral
secara mixing.
Membentuk hubungan social dalam piramida kekuasaan secara tunggal tidak dapat
menjadikan kekuasaan sebagai variable utama.
Nasionalisme dan daya juang para korban tidak terletak pada usaha untuk memberi
suatu harapan dalam tradisi birokrasi Negara yang disulam melalui keterpaduan
kesepakatan social berdasarkan mandate social, spiritual dan politk. Korban melihat
kekuasaan sebagai subjek yang merampas kewenangan-kewenangan tertentu yang
bukan merupakan wilayah kekuasaan. Kekuasaan yang destruktif lahir dari kekuasan
yang menggabungkan konsep dominasi dan hegemoni negara atas sumber-sumber
Negara.
Suara protes para korban sebagai bagian dari sebuah koreksi social dalam
memantapkan dinamika social politik yang terus mengalami perubahan. Struktu
perubahan, kultur perubahan dan style perubahan tidak hanya berhubungan dengan
pencitraan Negara terhadap korban dalam berbagai scenario dan stigma.
Variabel stigma sesat terkadang menjadi kultur Negara untuk membuat proyek
kekuasan dalam menata system kenegaraan. Model dan format stigma Negara tidak
hanya bersandar pada konsep perjanjian social sebagai komponen dasar menilai
system kenegaraan tetapi juga menjadi daya perekat bangsa.
Lemahnya nasionalisme para korban karena suatu kesepakatan social tidak menjadi
media perdamian tetapi lebih menjadi kekuatan Negara untuk mendapat legitimasi
public dalam hubungan dengan pergaulan social di masyarakat local, nasional dan
internasional.
Hubungan yang kendor dalam primate organisasi korban dijadikan patron social
dalam mengobati penyakit social. Studi diagnosis tentang tipologo korban dalam
memahami sumber-sumber kekuasaan dan konstruksi kekerasan sebagai suatu
bentuk rekayasa dapat dilihat dengan memantau secara saksasama ikon-ikon social
yang telah memperlemah dinamika perubahan dalam variable kekuasaan.
Akhir Sebuah Cerita
Tipologi struktur dan Peristiwa dari fenomena kekuasaan, kekerasan dan korban
berjalan dalam tiga dimensi yang berbeda. Pertama, dimensi Konfimasi dan Jaringan
kelembagaan. Kedua, Dimensi Keterhubungan Peran Lembaga Sosial Negara Yang
Acak. Ketiga, Dimensi Konflik antara Korban, Kekuasan melalui media kekerasan yang
tersrtuktur diluar system “bayang-bayang kekuatan baru”
*Dominggu Pigay adalah pemerhati masalah sosial di tanah Papua, tinggal di
Sentani, Papua

0 $type={blogger}:

Posting Komentar