Rabu, 09 April 2014

Anas Akui Serang SBY


Anas Urbaningrum.
JAKARTA Suara LSM Online - Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum menegaskan, ia tidak menyerang atau melakukan kampanye hitam untuk Partai Demokrat terkait hasil audit independen terhadap Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 yang bakal dilaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Namun, ia mengaku, berbagai bukti dan dokumen kecurangan pemilihan umum (pemilu) digunakan untuk menyerang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

"Tidak ada rumusnya Anas menyerang Demokrat. Pertama, Anas pernah menjadi Ketua Umum Demokrat. Kedua, sahabat Anas sedang nyaleg di DPR, DPRD, jadi tidak ada menyerang Partai Demokrat. Tidak ada kamusnya Anas menyerang Demokrat. Tapi, soal dana Pilpres 2009, terkait nyapres-nya Pak SBY, ya benar,” tuturnya, Senin (7/4). 

Hal tersebut dilakukannya sebagai balas dendam atas yang telah dilakukan SBY kepadanya dalam kasus korupsi Hambalang. Ia tidak membantah upayanya selama ini adalah untuk menyerang Ketua Umum Partai Demokrat itu. 

“Jadi kalau dibilang menyerang Pak SBY, saya bilang memang iya. Ini hanya merespons yang saya alami dari sikap dan tindakan SBY,” ucapnya. 

Dalam perjalanan pemeriksaannya sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi dalam proyek pembangunan Pusat Pelatihan, Pendidikan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Bukit Hambalang, Bogor, Anas mengungkapkan kepada penyidik, ia mengetahui adanya dana kampanya ilegal dalam Pilpres 2009. 

Anas diminta penyidik KPK melaporkan data yang ia miliki ke pengaduan masyarakat (dumas) KPK. Saat ini, menurutnya, ia sedang mempersiapkannya. Anas meyakini, laporannya akan mengungkapkan tindak pidana pencucian uang selain korupsi. 

“Hal yang penting, saya sekarang sedang menyiapkan penjelasan yang tadi itu. Penjelasan tentang data-data, dana kampanye Pilpres 2009, agar nanti para penelaah mudah melakukan tugasnya. Setelah ditelaah, saya yakin itu bisa masuk tindak korupsi dan pencucian uang,” ujarnya. 

Soal aliran dana kampanye SBY dari skandal Bank Century, Anas enggan menjelaskan. Menurutnya, itu tugas penyidik untuk mengusutnya. Apalagi, saat ini KPK masih mengembangkan kasus tersebut. 

“Ya, bukan tugas saya dong untuk menyelidiki itu, tugas KPK. Sekarang KPK sedang menyidik, bahkan memproses kan kasus Bank Century,” katanya. 

Ia menegaskan, data yang akan dilaporkannya bisa dipertanggungjawabkan. Data tersebut akan menunjukkan ketidaksesuaian antara orang yang terdaftar menyumbang dan dana sumbangan riil. 

“Justru saya sampaikan, kalau di dalam daftar itu orang yang ditulis menyumbang tidak menyumbang, berarti kan ada sumber dana sesunguhnya yang tidak tercatat di situ. Sumber dana yang lain itulah yang perlu diselidiki, apakah ada kaitan dengan Century atau tidak. Itu bukan tugas saya. Tugas saya memberikan data, informasi, yang valid, yang autentik, yang benar, bukan fitnah, bukan insinuasi. Membuat fitnah dan inisuasi (tuduhan tersembunyi-red) itu bukan hobi saya,” tuturnya. 

Arahan Boediono 
Mantan Deputi Direktur Pengawasan Perbankan Bank Indonesia (BI), Heru Kristiyana, yang merupakan saksi pada persidangan kasus Bank Century, di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) menegaskan, mantan Gubernur Bank Indonesia, Boediono, mengarahkan tidak boleh ada bank gagal pada 2008. Hal itu menjadi alasan Bank Century harus dikucurkan dana talangan hingga Rp 6,7 triliun. 

"Secara tertulis, tanggapannya sesuai arahan Pak Boediono tidak boleh ada bank gagal sehingga masalah Bank Century harus dibantu," ujar Heru. 

Ia menjelaskan, pesan Boediono tersebut disampaikan Deputi Gubernur Bidang V Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah Siti, Chalimah Fadjriah, usai memperoleh laporan mengenai permintaan penambahan modal yang diajukan mantan pemilik Bank Century, Robert Tantular dan direktur utamanya, Hermanus Hasan Muslim, pada 30 Oktober 2008. 

“Kami membuat catatan dan mengatakan, bank ini tidak memenuhi syarat untuk dilakukan penambahan modal,” kata Heru. (TIM)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar