Minggu, 27 April 2014

Penerimaan Pajak dari Sektor Minerba Tidak Optimal

Ilustrasi
Jakarta, Suara LSM Online - Berdasarkan penelitian optimalisasi penerimaan pajak dengan studi kasus pertambangan mineral batubara (Minerba), KPK menyimpulkan penerimaan pajak dari sektor Minerba tidak optimal. Demikian disampaikan dalam paparan hasil penelitian pada Rabu (23/4) di Gedung KPK, Jl. HR Rasuna Said, Jakarta, di hadapan Direktur Jenderal Pajak, Fuad Rahmany; Ketua Komite Pengawas Perpajakan, Daeng M. Nazier; Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan, Sonny Loho; dan jajaran Direktorat Jenderal Minerba.
Ulasan yang dilakukan pada Agustus 2013 hingga Maret 2014 tersebut menemukan sejumlah permasalahan yang mengakibatkan tidak terpungutnya pajak secara optimal karena tidak dapat Dihitungnya potensi penerimaan pajak yang akurat dari sektor ini. Ada 7 permasalahan ditemukan baik dari aspek tata laksana, regulasi dan manajemen sumber daya manusia (SDM) pada Dirjen Pajak.
Pada aspek ketatalaksanaan ditemukan tiga permasalahan, yakni pertama terkait belum akuratnya data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada sektor pertambangan. Dari 3.826 Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara yang dimiliki oleh 3.066 perusahaan, ditemukan 724 (23.61%) perusahaan di antaranya tidak tercatat pada data NPWP DJP. Bahkan untuk IUP yang sudah berstatus Clean and Clear (CnC) masih ditemukan ada yang tidak tercatat pada data NPWP. Kedua, kurangnya data pendukung berupa data produksi dalam perhitungan potensi pajak, selain ada perbedaan data produksi batubara dari Ditjen Minerba, Badan Pusat Statistik (BPS), World Coal Association (WCA) dan US Energy Information Administration (EIA). Akibatnya, dari perbedaan data tersebut potensi hilangnya pajak pada tahun 2012 mencapai lebih dari 20 triliun rupiah. Ketiga, belum optimalnya permintaan, pengelolaan dan pemanfaatan data eksternal perpajakan. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Rincian Jenis Data dan Informasi serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi belum memasukkan Ditjen Minerba Kementerian ESDM dan asosiasi pertambangan sebagai instansi yang wajib menyerahkan data perpajakan.
Sedangkan, terkait regulasi ditemukan dua permasalahan utama adanya multi tafsir penerapan aturan pengenaan pajak atas PPN, PPh dan pajak penjualan. Akibatnya, potensi terjadi tindak pidana korupsi oleh petugas dan atau WP dengan memilih tafsir aturan yang dianggap menguntungkan. Kedua, terkait keterbatasan peraturan tentang pengadaan data eksternal perpajakan yang mengatur kewenangan DJP untuk meminta data eksternal dari instansi terkait. Keterbatasan data pembanding mengakibatkan sulitnya pengawasan terhadap petugas pajak dan  atau WP yang membuka peluang terjadinya tindak pidana korupsi antara WP dan petugas pajak.
Sementara terkait aspek SDM ditemukan kelemahan pada pengawasan terhadap Wajib Pajak. Proporsi pegawai DJP saat ini sekitar 60 persen adalah non pengawasan dan hanya 40 persen untuk pengawasan. Waktu pemeriksa pajak juga lebih banyak dihabiskan untuk pemeriksaan rutin lebih bayar dan bukan pemeriksaan kurang bayar atau pemeriksaan berdasarkan analisis risiko. Selain itu, fungsi analisis potensi pajak pada DJP belum optimal. Hal ini mengakibatkan DJP kesulitan dalam membuat estimasi penerimaan pajak dan menentukan besarnya potensi pajak.
Terhadap permasalahan-permasalahan yang ditemukan, KPK memberikan sejumlah saran perbaikan kepada Dirjen Pajak, Dirjen Minerba, dan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kehandalan basis data WP dan data eksternal lainnya yang dibutuhkan DJP, meningkatkan mekanisme dan kerjasama antar instansi, lembaga, asosiasi dan pihak lainnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan data, menyempurnakan aturan dan pedoman untuk menunjang pelaksanaan fungsi DJP, serta memperkuat fungsi analisis dan pengawasan pajak. (KPK/TIM)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar