Kamis, 10 Juli 2014

Bertemu Bu Padma di Pantai Laut Merah

Catatan Kaki Jodhi Yudono
Suara LSM Online 
— Terpisah dari negeri sendiri ribuan mil jauhnya awal Juni lalu, hidup terasa lebih enteng. Setidaknya, untuk beberapa hari ke depan saya tak akan menyaksikan televisi kita yang sebagian di antara siarannya menayangkan iklan kampanye capres dan cawapres. Belum lagi stasiun-stasiun televisi partisan yang sudah kehilangan akal sehatnya, yang dengan semena-mena mengabaikan prinsip-prinsip jurnalistik karena menayangkan berita soal capres/cawapres yang tak berimbang, dan otomatis juga menyalahgunakan pemakaian frekuensi milik umum secara ngawur karena memaksa pemirsa menonton apa yang hanya disukai pemilik stasiun televisi partisan itu.

Tak cuma televisi, koran dan media online untuk sementara waktu juga bisa saya hindari. Media-media tersebut juga tak kalah riuhnya dalam memberitakan capres/cawapres. Sama dengan televisi, media cetak dan online juga ada yang terjebak pada keberpihakan. Walhasil, isi beritanya berat sebelah. Tak cuma berat sebelah, sebagian di antaranya malah jadi media fitnah.

Saya memang sengaja tak mengganti SIM card selama berada di Arab Saudi untuk menjalankan ibadah umrah. Kalaupun saya harus menghidupkan jaringan internet, itu hanya ketika menemui WiFi gratis, seperti di Bandara King Abdul Azis di Jeddah, dan saat di hotel, baik di Madinah maupun di Mekkah.

Kami tiba di Jeddah sejam sebelum waktu subuh, sekitar pukul setengah lima pagi. Toilet langsung penuh begitu kami menginjakkan kaki di Bandara King Abdul Azis. Setelah mengurus keperluan keimigrasian, lantas melaksanakan shalat subuh, kami menunggu bus yang akan mengantarkan kami ke Madinah.

Hari telah terang tanah saat bus mulai bergerak pelan meninggalkan bandara. Mengarungi lalu lintas Jeddah yang lancar pada pagi hari, saya jadi terkenang Jakarta. Sepagi ini, warga Jakarta tentu sedang tersaruk-saruk di jalanan yang macet. Lantas saya pun berharap, semoga setelah beroleh presiden baru, persoalan kronis warga Jakarta berupa kemacetan lalu lintas segera dapat teratasi.

Rupanya perjalanan kami tak lama. Sekitar 15 menit di jalan, sopir menepi ke tempat parkir. "Bapak dan ibu, kita sampai di Laut Merah. Di sini ada masjid terapung. Bapak dan ibu bisa beristirahat di sini sambil sarapan dan melihat pantai," ujar Ustaz Fuad, memberi pengumuman.

Sekawanan burung merpati langsung beterbangan saat rombongan kami tiba di pantai Laut Merah. Beberapa warga setempat tampak berjalan-jalan pagi sambil menikmati musik dari peranti audio. Yang lainnya menaburkan pakan untuk mengundang kawanan burung merpati berkumpul.

"Ayo, Ibu-ibu, korma muda, bagus untuk kesuburan," seorang pedagang dengan perawakan gemuk, suaranya mengalahkan debur ombak.

"Ayo atuh Ibu, kalau ada keluarganya yang belum punya keturunan boleh dicoba korma mudanya," tambah ibu itu.

Padma, begitu ia menyebut nama dirinya, berasal dari Garut dan sudah 19 tahun mencari penghidupan di pantai Laut Merah dengan berjualan buah kurma muda dan bakso serta aneka dagangan lainnya.

Penampilannya, sebagaimana pedagang di tepi pantai, sangat bersahaja. Namun jangan salah, Bu Padma adalah juragan, dan itu dalam arti sesungguhnya. Menurut pengakuannya, semua pedagang yang tersebar di pantai Laut Merah adalah pegawainya.

"Ada yang jual bakso, mainan anak-anak, korma muda," kata Padma menyebut suku usahanya.

"Ini si eneng baru jualan hari ini. Dia istri sopir saya," kata Padma menunjuk perempuan muda yang berjualan mainan anak-anak, yang membuka lapak tak jauh darinya.

Sopir?

Yup! Oleh kesuksesan usahanya itu, Padma kini memiliki tiga mobil di Jeddah, serta berhektar-hektar sawah di Garut dan sekitarnya.

Awalnya, perempuan berusia 52 tahun ini bekerja sebagai babysitter di sebuah keluarga ningrat nan kaya raya. Itulah sebabnya, Padma kerap dibawa ke mana pun majikan dan anaknya pergi, termasuk ke New York, London, Paris, dan kota-kota ternama dunia lainnya.

"Cuma dua tahun saya bekerja sebagai pengasuh anak," kata Padma.

Setelah itu, Padma memilih untuk berwirausaha. Sudah barang tentu, membuka usaha di Jeddah bukanlah perkara gampang. Akhirnya, oleh saudaranya yang bersuamikan lelaki Arab, Padma juga dijodohkan dengan lelaki Arab.

Entah karena cinta atau siasat agar bisa membuka usaha di Jeddah, yang terang setelah menikahi lelaki Arab itu, Padma leluasa membuka usaha. Bahkan, menurutnya, baladia (pasukan ketentraman dan ketertiban) sudah mafhum dengan keberadaan Padma. "Makanya saya nggak pernah diusik. Kalaupun saya dirazia, besoknya barang-barang saya sudah dikembalikan lagi."

Kini, selain tiga mobil di Jeddah, kekayaan Padma juga melimpah di Garut. Menurut Padma, untuk membeli satu hektar tanah, dia cukup menjual kurma muda selama musim haji. "Lumayan, keuntungannya bisa buat beli sehektar sawah di desa."

Padma pun bercerita, kenapa keuntungannya bisa sebesar itu. Menurut dia, kurma-kurma muda itu sebetulnya barang apkiran dari kebun kurma milik raja Arab. Padma hanya menukarnya dengan "uang rokok" kepada para pegawai kebun kurma yang sudah memberinya kurma apkiran.

"Mangga atuh dicobain," kata Padma sambil menyorongkan kurma muda kepada saya.
"Nanti saya ikutan mengandung," canda saya.

"Eh, omong-omong Bu Padma mau sampai kapan nyari uang di Jeddah?" saya bertanya.
"Paling tiga tahun lagi saya pulang ke Indonesia."
"Sama Tuan Arab dapat berapa anak?"
"Dapat dua, laki dan perempuan. Mereka sudah mahasiswa."
"Mau diboyong semua ke Indonesia?"
"Nggak tahu, bagimana nanti ajah."
"Besok mau milih yang mana presidennya?"
"Rahasia dong."
"Sesama orang Indonesia nggak boleh pakai rahasia," canda saya.
"Yah... pokoknya yang tidak sombong, rajin menabung, dan gemar menolong...."
"Ah ibu bercanda."
"Sini deh saya bisikin."

Lantaran tak enak dengan anggota rombongan lainnya, saya hanya sekilas saja mendengar bisikan Bu Padma, yang berakhiran dengan huruf vokal O. Entah Joko, entah Bowo. Hehehehe....(Kompas/Tim)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar