Jumat, 29 Agustus 2014

Kisah Bupati Kukar yang Takut Korupsi dan tak Peduli Gaji

Suara LSM - DIPERCAYA menjadi bupati, bukan perkara mudah bagi Rita Widyasari. Banyak tantangan yang harus ia taklukkan selama memimpin Kutai Kartanegara (Kukar).

Wanita berusia 40 tahun ini memandang jabatan yang ia emban sekarang sebagai bentuk pengabdian bagi masyarakat. Karena itulah, Rita tak mau mensia-siakan kepercayaan masyarakat dengan melakukan berbagai penyimpangan, seperti korupsi. Terlebih, ayahnya yakni Syaukani Hasan Rais, merupakan mantan bupati di Kutai Kartanegara.

Karenanya, wanita berhijab ini berusaha menjauhkan diri dari korupsi dan menjaga nama baik keluarga. Dia juga mengaku trauma bila mendengar kata-kata korupsi. Menurutnya, soal korupsi, itu merupakan sikap tegas yang tak hanya diucapkan dimulut saja, namun juga harus dilakukan dengan tindakan nyata.

"Pekerjaan bupati adalah pengabdian saya dan bapak saya. Sejak awal, saya juga nggak mau korupsi, mudah-mudahan sampai akhir jabatan saya jauh dari korupsi. Itu kemampuan saya untuk menolak (korupsi)," ujar Rita saat menghadiri acara Forum Pemred Jawa Pos Group di JCC, Senayan, Jakarta, Selasa (26/8) malam.

Rita juga tak memungkiri bahwa jabatan yang saat ini ia emban, cukup mengiurkan untuk melakukan korupsi, namun ia memilih untuk tak melakukannya dan berusaha menjauhkan diri.

Mengenai gaji sebagai bupati, Rita mengaku tak peduli berapa ia mendapatkan gaji perbulan. Bahkan ia juga jarang mengecek ataupun menghitung setiap gaji perbulan yang diterimanya. Baginya, yang terpenting adalah bekerja untuk Kutai Kartanegara, soal gaji urusan nomor kesekian.

"Saya nggak peduli berapa gaji saya. Saya juga nggak tahu gaji saya ada berapa saat ini. Yang penting saya kerja," seru dia.

Soal gaya memimpin Kutai Kartanegara, ia mengaku tak punya cara khusus, apa yang ia lakukan selama ini dikatakan Rita bukanlah sebuah manipulasi untuk mendapatkan simpati masyarakat. Pernah sekali waktu, Rita belajar komunikasi agar memiliki gaya berbicara yang enak dipandang saat berada di depan umum, namun dia justru malah kagok dan tak menjadi dirinya sendiri. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjadi dirinya sendiri tanpa harus merubah penampilan.

"Style saya juga ya begini-begini saja. Pernah saya belajar komunikasi, cuma pas pegang mic berubah semua, saya jadi nggak bisa ngomong apa-apa. Jadi gaya saya ya begini saja, nggak dibuat-buat. Jangan dipikir enak jadi bupati, dua kaki ini, bisa satu penjara satu neraka. Bebannya luar biasa," tandas wanita kelahiran Tenggarong, 11 November 1973.(HT)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar