Senin, 01 Desember 2014

Dari Perampokan APBD hingga Sumber Daya Mineral

Oleh: Yopita Arika

Tiga kali berturut-turut gubernurnya terjerat kasus korupsi, bahkan terakhir tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak juga membuat sejumlah pejabat di Provinsi Riau ”sadar” untuk mengelola daerah secara benar, terutama dalam menggunakan anggaran. Masih saja ada upaya menggunakan uang rakyat untuk kepentingan diri sendiri.
Rencana pengadaan ratusan mobil mewah untuk anggota dan Ketua DPRD Provinsi Riau beserta sejumlah pejabat senilai Rp 70 miliar—meski akhirnya dibatalkan—sungguh mencederai rakyat. Untuk ketua DPRD saja, waktu itu dianggarkan hampir Rp 5 miliar untuk membeli dua mobil dinas, padahal rakyat yang diwakilinya masih banyak yang hidup miskin.
Kemudian di Kota Pekanbaru, tenda senilai Rp 2 miliar dibangun di halaman rumah dinas wali kota. Sementara itu, sekitar 400 meter dari rumah dinas wali kota, puluhan warga yang tinggal di kampung kumuh mengajukan bantuan untuk membuat sumur bor saja tidak dipenuhi.
Otonomi pengelolaan keuangan daerah ternyata telah disalahgunakan untuk ”kesejahteraan” segelintir orang yang berkuasa (pejabat) dan bukan untuk masyarakat. Mereka yang berkuasa justru berlomba menggunakan dan menggelapkan anggaran daerah yang notabene uang rakyat dengan berbagai modus.
Dalam laporan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau yang telah dipublikasikan disebutkan, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun anggaran 2011 se-Provinsi Riau, ditemukan 139 kasus pengelolaan keuangan yang melanggar peraturan perundang-undangan. Potensi kerugian negara dalam 139 kasus tersebut sebesar Rp 536,77 miliar.
Modusnya mulai dari penyelewengan dana bantuan sosial (bansos) dan hibah, perjalanan dinas fiktif, proyek fiktif, hingga pemberian uang transpor kepada tamu-tamu pimpinan dan anggota DPRD yang tidak sesuai ketentuan. Kasus penyelewengan dana bansos dan hibah paling berpotensi merugikan negara, yaitu sebesar Rp 335,461 miliar.
Aceh hingga Papua
Riau hanyalah salah satu contoh. Di daerah-daerah lain, dari Aceh hingga Papua, kasus serupa juga terjadi. Di Aceh, awal November lalu, Kejaksaan Tinggi Aceh menahan mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Marthin Desky dan mantan pemegang kas Bupati Aceh Tenggara, Muhammad Yusuf bin Muhammad Syah, dalam kasus dugaan korupsi dana bansos fiktif. Berdasarkan catatan Kompas, kasus yang melibatkan mantan Bupati Aceh Tenggara Armen Desky ini merugikan keuangan negara sekitar Rp 21,4 miliar.
Untuk kasus penyimpangan anggaran daerah di seluruh wilayah Aceh, Fitra mencatat, total potensi kerugian negara mencapai Rp 10,3 triliun dalam 2.399 kasus. Penyimpangan tertinggi di Kabupaten Aceh Utara yang berdasarkan audit BPK pada 2009-2013 sebanyak Rp 1,4 triliun dalam 143 kasus. Salah satunya melibatkan mantan Bupati Aceh Utara Ilyas A Hamid yang disangka menyalahgunakan pinjaman jangka pendek Pemerintah Kabupaten Aceh Utara di Bank Aceh Cabang Lhokseumawe. Kasus ini merugikan negara sekitar Rp 7,5 miliar.
Di Sulawesi Tengah, akhir November lalu, mantan Bupati Donggala Habir Ponulele dan mantan Wakil Bupati Donggala Aly Lasamaulu ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi perjalanan dinas fiktif. Kasus ini diduga merugikan negara Rp 1,3 miliar.
Sementara itu, di Papua, baru-baru ini Bupati Sarmi Mesak Manibor ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penyalahgunaan APBD Kabupaten Sarmi tahun 2012 sebesar Rp 4,5 miliar oleh Kejaksaan Agung. Dana itu digunakan untuk membangun pagar dan merehabilitasi rumahnya (Kompas, 17/11).
Berdasarkan catatan BPK pada awal 2014, lebih dari 300 kepala daerah dari total 542 kepala daerah di Indonesia tersangkut kasus korupsi. Modusnya, mulai dari penyalahgunaan anggaran termasuk dana hibah dan bansos, hingga korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pemberian izin pengelolaan sumber daya alam seperti tambang dan hutan.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan pada 2011, sebanyak 14 kepala daerah terlibat kasus dugaan korupsi terkait penerbitan izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu. KPK juga tengah mengawasi dugaan korupsi di sektor kehutanan, salah satunya yang melibatkan Gubernur (non-aktif) Riau Annas Maamun, tersangka kasus dugaan suap pengajuan revisi alih fungsi hutan Riau tahun 2014 kepada Kementerian Kehutanan. Gubernur Riau sebelumnya, Rusli Zainal, juga terjerat kasus korupsi penerbitan izin usaha pemanfaatan hasil hutan di Pelalawan periode 2001-2006.
Beberapa waktu lalu, KPK juga memanggil seluruh bupati di Jambi terkait adanya dugaan izin usaha pertambangan (IUP) yang berada di kawasan hutan lindung atau hutan produksi. Jambi hanyalah satu dari 12 provinsi yang terdapat IUP bermasalah. Selain di Sumatera, juga terdapat di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam, hingga April lalu ada 4.880 IUP operasi dan produksi mineral dan batubara yang bermasalah (Kompas, 14/3).
Pengawasan KPK memang diperlukan karena sering kali lembaga penegak hukum di daerah tidak berfungsi dengan optimal. Sudah menjadi rahasia umum, unsur pimpinan daerah tidak dapat menjalankan fungsi kontrol dengan baik. Ikatan antar-unsur pimpinan yang erat justru sering kali saling menutupi jika terjadi penyelewengan.
Presiden bisa memecat
Akhirnya, desentralisasi kekuasaan yang seharusnya menjadi jalan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif untuk kesejahteraan rakyat justru memunculkan raja-raja kecil di daerah. Ditambah lagi, kontrol atau pengawasan masyarakat sering kali juga lemah. Media dan juga lembaga swadaya masyarakat yang seharusnya ikut mengawasi kinerja pemerintahan daerah juga belum tentu dapat menjalankan fungsinya dengan baik karena berbagai alasan.

0 $type={blogger}:

Posting Komentar