Minggu, 25 Januari 2015

'Peluru-peluru' untuk Lembaga Pemberantas Korupsi

* Cicak Vs Buaya Jili II


Jakarta, SUARA LSM Online - Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga ini ditakuti banyak orang, terutama mereka yang punya posisi penting. Sedikit melangkah tak hati-hati, jerat hukum menanti. Di antara lembaga-lembaga penegak hukum di tanah air, KPK berdiri paling belakangan, namun berdiri kokoh dan mendapat dukungan luas masyarakat.

Pada awal 2015, ketika KPK membeberkan cita-citanya untuk menyapu bersih negeri ini dari koruptor, gejolak dimulai. Mimpi-mimpi berubah amarah dalam sekejap. Kisah kelam ‘Cicak versus Buaya’ terulang. KPK lagi-lagi harus berhadapan dengan sesama lembaga penegak hukum –yang mestinya menjadi mitranya.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto di Gedung KPK menyatakan pada akhir semester pertama 2015, ada empat kasus besar yang menjadi target KPK untuk diselesaikan, yakni kasus yang menjerat bekas Menteri Agama Suryadharma Ali, bekas Menteri ESDM Jero Wacik, bekas Kepala BPK Hadi Poernomo, dan bekas Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana, Rabu (14/1).

Ketika itu, Bambang Widjojanto begitu yakin keempat kasus besar itu bakal dirampungkan KPK tepat waktu. Namun kini, mungkin semua tak lagi sama.

Titik balik 

Sembilan hari setelah Bambang mengemukakan kasus-kasus yang menjadi target KPK, Jumat (23/1), dia ditangkap penyidik Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Dalam sehari, dunia jungkir balik. Bambang Widjojanto ditetapkan Bareskrim Polri sebagai tersangka dan terancam hukuman tujuh tahun penjara.

Bambang Widjojanto dituding menyuruh saksi memberikan keterangan palsu di depan sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, tahun 2010. Saat itu Bambang belum menjabat Ketua KPK. Ia menjadi pengacara salah satu pihak bersengketa.

Penangkapan Bambang Widjojanto segera membangkitkan amarah KPK. Mereka yakin aksi Bareskrim Polri tersebut terkait dengan langkah KPK pekan sebelumnya yang menetapkan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus rekening gendut. Alhasil, pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri ditunda.

“Berdasarkan pengalaman saya dalam menangani kasus seperti ini, ini pasti tidak berdiri sendiri. Kasus ini kemungkinan berkaitan dengan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK. Apakah ini pelemahan terhadap KPK? Mungkin harus dinaikkan levelnya. Ini penghancuran,” ujar Bambang di kediamannya, Depok, Sabtu (24/1), sehari setelah ia ditangkap KPK, namun dibebaskan Sabtu dini hari atas jaminan pimpinan KPK lainnya.

Kemarahan juga ditunjukkan Ketua KPK Abraham Samad. Pada malam ketika Bambang masih ditahan di Bareskrim Polri, ia amat emosional. Di hadapan massa yang memenuhi Gedung KPK untuk memberikan dukungan kepada lembaga itu, Samad lantang menyatakan KPK sedang dizalimi.

“Mari galang kekuatan untuk meneriakkan ketidakbenaran yang menimpa KPK,” seru Samad kepada massa. Ia menegaskan KPK tak akan surut dalam mengungkap kasus korupsi apapun yang terjadi.

Amarah KPK jelas terpampang di situs mereka. Buka saja laman kpk.go.id. Pada bagian atas, langsung terpampang sikap berang KPK menanggapi penangkapan Bambang Widjojanto oleh Polri. Ada empat butir sikap resmi KPK.

Pertama, memprotes keras penangkapan terhadap Bambang Widjojanto sebagai salah seorang pimpinan KPK. Kedua, menegaskan bahwa penanganan kasus Budi Gunawan oleh KPK adalah murni penegakan hukum. Ketiga, meminta Kepolisian untuk tidak dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok. Keempat, mengajak masyarakat bersatu padu melawan pihak-pihak yang menghalangi upaya pemberantasan korupsi.

Di mana Presiden?

Ajakan KPK itu mendapat dukungan luas dari masyarakat, namun terkesan ditanggapi dingin oleh Istana. Simak pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno Sabtu siang di Istana Negara usai menggelar pertemuan dengan Presiden Joko Widodo dan petinggi Polri. 

“Jangan menyudutkan salah satu pihak. Jangan membakar (emosi) massa, membakar rakyat, memprovokasi. Tidak boleh seperti itu. Itu suatu pernyataan yang kekanak-kanakan,” ujar Tedjo.

Menkopolhukam tak menyebut kepada siapa pernyataan itu ditujukan, tapi publik dapat langsung menilainya sendiri. Menteri Tedjo menyatakan pemerintah akan memediasi KPK dan Polri agar perseteruan antara kedua lembaga tak berkepanjangan. Ia menyebut komunikasi yang terputus antara KPK dan Polri menjadi penyebab semua kekacauan ini.

Hampir bersamaan ketika Menkopohukam mengeluarkan pernyataan itu, bahwa upaya mediasi akan dilakukan pemerintah, satu lagi Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu Praja, diperkarakan ke Bareskrim Mabes Polri. Adnan dilaporkan dengan tuduhan serius: merampok saham perusahaan.

Peluru kembali menerjang jantung KPK. Satu lagi pimpinannya berpotensi menjadi tersangka. Adnan disebut pelapor diduga mengambil paksa saham milik PT Desy Timber, perusahaan penebangan kayu yang beroperasi di Berau, Kalimantan Timur, pada tahun 2006, saat Adnan menjadi penasihat hukum perusahaan itu.

Dengan demikian, sudah dua pimpinan KPK yang dilaporkan ke Bareskrim –yang dipimpin oleh kepala baru Komjen Budi Waseso setelah Kabareskrim sebelumnya Komjen Suhardi Alius dimutasi ke Lembaga Ketahanan Nasional awal pekan ini. 

Jika satu demi satu pimpinannya diperkarakan, apalagi kalau sampai menjadi tersangka lagi, KPK jelas terancam lumpuh. Lantas bagaimana nasib pemberantasan korupsi yang selama ini dicita-citakan Presiden Joko Widodo dalam kampanyenya?

Kembali ucapan resmi Menkopolhukam patut disimak untuk melihat ‘arah angin’ bertiup. “Jangan memberi pernyataan yang membuat panas. Itu mestinya tidak perlu terjadi. Kalau pernyataan tertutup, silakan. Jangan semua di depan media. Itu tidak baik, kekanak-kanakan. Berdiri sendiri, dia akan kuat, konstitusi yang mendukung, bukan dukungan rakyat yang tidak jelas itu.”

Dukungan rakyat yang disebut ‘tidak jelas’ itulah yang mengantarkan Jokowi menuju kursi Presiden. Rakyat kini menanti langkah konkretnya.(Tim)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar