Senin, 15 Mei 2017

Perlawanan Koruptor dan Oligarki Berbungkus Agama dan Sentimen Etnis

Jokowi dan Ahok
Jakarta, (Suara LSM) - Sub-judul berita utama Kompas hari Minggu 14 Mei 2017 (tepat 19 tahun Tragedi Mei 1998) menohok nalar. "Wapres: Masjid Penebar Toleransi dan Persatuan"; tak ada yang salah dengan sub-judul itu. Sebenar-benarnya saya percaya bahwa kesakralan dan kesucian rumah ibadah agama apapun adalah untuk kebaikan, di mana 'toleransi' dan 'persatuan' adalah bentuk-bentuk kebaikan dalam ajaran agama manapun.
Namun ada yang mengusik hati saya. Apakah Jusuf Kalla sedang melakukan self-denial atau bagaimana. Masyarakat luas, bahkan dunia dengan jelas melihat bagaimana masjid digunakan dan dimanfaatkan habis-habisan untuk kepentingan politik semenjak 2012, pertarungan Pilgub DKI Jakarta 2012 duet Jokowi – Ahok dengan para kandidat lain; Pilpres 2014 yang memang tidak tampak terlalu masif karena ada kepentingan Jusuf Kalla mendampingi Joko Widodo sebagai cawapres dan mencapai puncaknya dalam hiruk pikuk Pilkada DKI Jakarta 2017 ini.
Saya mencoba memisahkan sejernih mungkin urusan hiruk pikuk politik semenjak 2012 sampai sekarang ini dan saya yakin akan menghebat di Pilpres 2019 dengan level yang mungkin terdahsyat dalam sepanjang sejarah Republik Indonesia. Terlebih lagi saya tidak mengritik agama apapun karena saya meyakini ajaran agama apapun adalah kebaikan; namun seringkali agama digunakan, dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan politik.
Di seluruh penjuru dunia terbukti agama merupakan bungkus paling manjur dan mujarab untuk mengobarkan fanatisme membabibuta. Timur Tengah, Irlandia, Afrika, bahkan di Amerika – agama (dan biasanya bersinergi dengan etnis) masih merupakan senjata paling ampuh.
Kita sedikit tengok ke belakang perjalanan bangsa Indonesia. Reformasi 1998 sudah terentang selama 19 tahun sampai hari ini. Pada tahun 2012 adalah titik balik perpolitikan Indonesia. Sebenarnya, pada tahun-tahun sebelumnya sudah mulai muncul benih-benih gebrakan-gebrakan sosok-sosok pembaharu di sana sini. Sebut saja Dahlan Iskan dan Ignatius Jonan. Sebelum 2012, beliau berdua sudah melakukan reformasi besar-besaran dalam bidang perkeretaapian Indonesia dan perlistrikan Indonesia.
Masih lekat dalam ingatan betapa barbarnya penumpang KRL Bogor-Jakarta yang menclok di atap kereta bergelantungan menjulur ke sekujur badan kereta, betapa kumuh dan semrawutnya KRL ketika itu. Dalam sekejap wajah perkeretaapian Indonesia mulai dari KRL sampai dengan kereta jarak jauh berubah total.
Sekarang naik KRL benar-benar tidak kalah dengan MRT di Singapura atau MTR di Hong Kong. Kebersihan gerbong KRL, kenyamanan benar-benar tidak kalah. Masih tentu saja sana sini kekurangan, bilamana puncak jam sibuk, waduh, sungguh untel-untelan seperti cendol. Namun itu masih wajar mengingat kereta sejenis di Jepang juga demikian, sama untel-untelannya ketika puncak jam sibuk.
Sosok-sosok pembaharu mulai bermunculan. Sebut saja Jokowi waktu itu Wali Kota Solo, Risma di Surabaya, Ahok di Belitung, Bupati Yoyok di Batang, Ridwan Kamil di Bandung dan mungkin masih banyak lagi, dan belakangan bertambah sosok yang cukup fenomenal adalah Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Melejitnya Jokowi dari Wali Kota Solo menjadi Gubernur DKI Jakarta 2012 itulah titik balik perpolitikan Indonesia.
Gebrakan-gebrakan para pembaharu menyebabkan gerahnya banyak sekali 'stakeholders' (pemangku kepentingan pundi-pundi masing-masing kelompok). Dolly, Tanah Abang, Kalijodo, Waduk Pluit, dibabatnya perparkiran liar hanya segelintir pembaharuan yang terlihat nyata di permukaan. Naiknya Jokowi menjadi Presiden di 2014 mengakhiri era 'auto pilot country' periode kedua SBY.
Pada Pilpres 2014 sudah mulai terjadi 'pilot project' membungkus isu agama, menghidupkan kembali hantu palu arit, isu etnis 'aseng' dan campur tangan asing. Masih jelas dalam ingatan betapa dahsyat bungkus agama, hantu palu arit, asing-aseng digoreng terus. Namun masih bisa dibilang levelnya belum mencapai kulminasi karena diakui atau tidak, beberapa tokoh yang gemar 'bungkus agama' di sana sini masih ada kepentingan dalam kekuasaan dan kemungkinan bermainnya kepentingan kerajaan-kerajaan bisnis keluarga-keluarga tertentu.
Beberapa pihak masih berpikir bahwa Jokowi mungkin masih bisa ditekuk atau 'dibimbing' oleh invisible hands. Namun duet maut RI-1 dan DKI-1 menjungkirbalikkan dan membuyarkan harapan dan pundi-pundi para invisible hands itu semua.
Hebohnya terpilihnya Menteri Susi mengawali era Jokowi. Begitu gencar penolakan yang lagi-lagi dibungkus agama. Cacian dan cercaan terhadap cara berpakaian Menteri Susi, gaya berbicaranya, merokoknya, tatonya, semua dikemas dengan bungkus agama.
Korupsi besar-besaran di bidang perikanan dan kelautan Indonesia diobrak-abrik tanpa gentar. Kapal-kapal negara asing yang entah sudah berapa dasawarsa berkeliaran di perairan Indonesia mengeruk kekayaan laut Indonesia satu per satu ditenggelamkan tanpa ampun.
Protes keras negara-negara lain, beberapa kali sempat hampir terjadi insiden diplomatik antar negara, beberapa kali nyaris terjadi kontak senjata total, semuanya tidak dianggap oleh Menteri Susi, semuanya hajar tanpa ampun. Pola lama patronasi dan oligarki 'semua bisa diatur dan dibantu' buyar berantakan. Kedaulatan maritim Indonesia paling tegak dan berdaulat semenjak Indonesia merdeka.
Siapa yang terusik? Dari bisik-bisik terhembus para pemangku kepentingan urusan bisnis laut di dalam kerajaan bisnisnya yang nyaman di sentra-sentra bisnis Jakarta (Sudirman, Thamrin, Kuningan) sewot.
Bubarnya PETRAL dan diobrak-abriknya urusan perminyakan; sekarang tongkat estafet dilanjutkan oleh (lagi-lagi) Ignatius Jonan, membuat banyak pihak yang berkepentingan dengan licinnya emas hitam ini kelimpungan dan berang. Sekali lagi bisik-bisik sesosok nama yang selama ini 'antara ada dan tiada' diyakini adalah salah satu yang mendanai gonjang-ganjing politik selama ini.

Bergesernya Jokowi dari DKI-1 menjadi RI-1 dan tongkat estafet dilanjutkan wakilnya dari DKI-2 menjadi DKI-1, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi mimpi buruk bagi kebanyakan kerajaan bisnis Indonesia yang dibangun dari peninggalan pola lama patron dan oligarki.
Mimpi buruk tak berhenti di situ saja, mimpi buruk terus meluas di kalangan birokrasi, dewan dan seluruh jajaran pemerintahan DKI Jakarta. Tanah Abang yang ditertibkan sejak zaman Jokowi, penertiban seluruh urusan kependudukan, urusan birokrasi, urusan anggaran APBD, dan seribu-satu urusan lainnya.
Jakarta adalah Ibu Kota Indonesia, cermin dan wajah Indonesia. Akhirnya untuk pertama kalinya semenjak masa kepemimpinan Ali Sadikin, wajah Jakarta bertransformasi total. Rumah-rumah kumuh di pinggiran Waduk Pluit lenyap seketika, Kalijodo yang memiliki sejarah panjang (sebanding dengan Dolly Surabaya) lenyap, jalan-jalan, trotoar, sungai, taman-taman kota, ruang terbuka hijau, perijinan, dan banyak lagi aspek bertransformasi total.
Sungguh sayang sekali jika transformasi wajah Ibu Kota Indonesia ini akan berhenti dan segera kembali ke wajah lamanya.
Semoga tidak terjadi. Masih ada setitik 'harapan utopia' bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih yang baru ini minimal bisa melanjutkan transformasi total ini atau bahkan melakukan terobosan-terobosan baru.
Namun sepertinya bahkan setitik 'harapan utopia' pun hanyalah harapan belaka. Tak perlu menunggu lama, Tanah Abang dalam hitungan hari sudah kembali ke khitah-nya semula yang super macet, super semrawut.
Tentu saja bukan 'salah' mantan Gubernur DKI yang tersandung kasus hukum (lagi-lagi) berbungkus agama, juga tentu saja bukan 'salah' Gubernur Plt yang menjabat sampai Oktober 2017, tentu saja bukan 'salah' Gubernur baru yang terpilih. Mental masyarakat sendiri ternyata masih perlu revolusi mental; tepat sekali yang diserukan Jokowi sejak awal pemerintahannya.
Pada akhir Pemerintahan SBY, yang tidak banyak orang tahu, ada satu pabrik semen yang mengawali pembangunannya di Manokwari. Oleh Jokowi dikebut total dengan program internasional One Belt One Road (OBOR), menggandeng pemerintah China menggeber pembangunan pabrik semen di Indonesia Timur untuk mendukung program pembangunan besar-besaran infrastruktur di seluruh Indonesia terutama fokus di Indonesia Timur.
Jokowi menyampaikan: "saya ingin rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke bisa membangun rumah tembok dengan harga wajar".
Semen di Papua yang dulunya satu sak Rp 1 juta atau lebih dalam waktu tak lama meluncur turun menjadi harga wajar Rp. 50.000-60.000. Pembangunan pabrik semen ini tidak berhenti di Manokwari saja, digeber di Banjarmasin, Manado, Palu dan Makassar.
Secara logika bisnis jelas tidak masuk akal, produksi pabrik semen dengan kapasitas yang jauh melampaui bahkan konsumsi nasional, kenapa digeber di kawasan Indonesia Timur. Hasilnya bisa segera dilihat, infrastruktur di Kalimantan, Sulawesi dan Papua bangkit dalam level yang tak pernah ada semenjak Republik Indonesia berdiri.
Penguasa kerajaan bisnis di Indonesia Timur sejak dulu kala terusik dan tentu saja berang. Selama ini nyaris seluruh aspek sendi ekonomi yang mereka kuasai, banyak sekali terganggu.
Tak ada cara lain lagi-lagi bungkus agama dan kali ini disinergikan dengan bungkus etnis digeber. Bungkus-bungkus berlapis dan bertingkat agama-etnis-komunis sudah terbukti ampuh sepanjang sejarah Indonesia.
Belum lagi campur tangan 'invisible hands' dengan kepentingan lebih besar secara internasional juga ikut meramaikan. Tambang yang paling lucrative dan menggiurkan, selama tiga dasawarsa lebih jaya tak tersentuh, tiba-tiba terusik dengan gebrakan Pemerintah. Konon tambang tersebut bukan logam mulia yang berharga, konon kabarnya uranium dan plutonium'lah kandungan berharga sebenarnya. Benar tidaknya, wallahualam karena pengolahannya tidak pernah dilakukan di Indonesia. Berpuluh tahun gunung dipotong-potong dan dikemas untuk dikirim ke luar Indonesia untuk pemrosesannya.
Kerajaan-kerajaan bisnis properti, real estate, media, periklanan dan masih banyak lagi terjungkir balik kocar-kacir dengan gebrakan dan terobosan Ahok. Perizinan yang dulunya semua 'bisa dibantu' menjadi 'kaku' mengikuti koridor yang benar. Tidak ada lagi penyerobotan lahan hijau atau ruang terbuka hijau atau ruang publik untuk kepentingan bisnis tertentu.
Para pemangku kepentingan kerajaan-kerajaan bisnis gerah dan sewot dari balik kenyamanan "istana-istana" mereka. Perizinan reklamasi dan 'todongan' Ahok untuk ruang terbuka hijau dan kontribusi daerah membuat para pelaku bisnis yang berkepentingan (pelaku bisnis dan aparat pemerintahan yang korup) terusik dan murka. Tangkapan demi tangkapan, KPK seperti panen raya.
Tapi apa daya, kekuatan-kekuatan baik yang terlihat atau tak terlihat bersatu padu dengan segala cara ingin mengembalikan 'kejayaan masa lalu' bisnis mereka, ingin mengembalikan pola-pola patronasi dan oligarki masa lalu. Sekali lagi, formula agama-etnis-komunis (hantu palu arit) dikobarkan hebat. Ormas-ormas, kelompok-kelompok radikal, intoleran dengan gegap gempita dan riang gembira bersatu dengan karena satu kepentingan. Bungkus agama terus digelontorkan, dikobarkan, sentimen etnis terus digeber, hantu palu arit dibangkitkan dengan segala cara, bahkan Kepala Negara juga sudah dikenakan 'jubah hantu palu arit', sektarianisme terus diusung.
Isu-isu dukungan "Sembilan Naga" untuk Ahok terus dihembuskan, opini-opini sentimen etnis terus digulirkan. Banyak sekali yang tidak sadar, justru sebaliknya, kebanyakan para pelaku kerajaan-kerajaan bisnis di Indonesia tidak suka dengan duet maut RI-1 dengan (mantan) DKI-1, karena mereka semua tak berkutik dengan pola lama mereka 'semua bisa dibantu' dan 'semua bisa diatur'.
Sekarang para pelaku bisnis etnis Tionghoa justru ketar-ketir karena gorengan isu solidaritas etnis untuk Ahok menjadi bumerang balik untuk mereka dengan meruncingnya gorengan isu kesenjangan sosial dan agama ini. Secara umum, dunia bisnis sangat kuatir dengan gorengan isu panas sektarian, kesenjangan sosial, yang lagi-lagi dikemas ciamik dalam bungkus agama.
Kegaduhan luar biasa saat ini sebenarnya adalah perlawanan hebat para koruptor dan oligarki secara terstruktur dan masif. Dan kemasan paling ampuh dan mujarab adalah agama, sentimen etnis dan hantu hantu palu arit.
Mari kita cerdas menyikapinya. Peran seluruh komponen bangsa sangat berperan signifikan. Mari ambil peran masing-masing untuk tetap tenang, berpikir jernih dan bersikap bijaksana. Bersikap netral dan objektif? Rasanya sangat naif jika seseorang bisa benar-benar bersikap netral dan objektif.
Mengambil sikap netral dan objektif pun sudah bukan suatu objetivitas. Objektivitas dan netralitas absolut adalah subjektivitas dan keberpihakan itu sendiri, karena itu tandanya kita semua masih manusia normal. (helmy/kompas)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar