Rabu, 08 Agustus 2012

Menhut Terbitkan PP Pemutihan

Lahan pengganti tidak diperlukan jika kebun tersebut berada pada hutan produksi yang dapat dikonversi

ilustrasi
Jakarta, (SUARA LSM) - Pemerintah akan menerbitkan dua peraturan pemerintah (PP) yang akan ‘memutihkan' status ilegal, bagi perkebunan dan pertambangan yang beroperasi di kawasan hutan, tanpa izin dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut).

Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan menuturkan, penerbitan PP tersebut dilatarbelakangi, karena tidak adanya aturan peralihan pada Undang-Undang (UU) Nomor 26/2007, tentang Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Kegiatan Tambang atau Kebun yang Sedang Dalam Proses Penyelesaian.

“PP itu memberi penjelasan untuk izin (kebun dan tambang) yang sudah terbit sebelum UU 26/2007. Yang tidak melanggar aturan, boleh diproses izin pemanfaatan hutannya. Namun jika terbitnya setelah UU 26/2007, tetap tidak boleh diproses,” kata Menhut di Jakarta, akhir pekan lalu.

Kedua PP yang akan terbit itu adalah PP No 60/2012 tentang Perubahan atas PP No 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

PP itu akan menjadi pintu bagi perusahaan kebun yang ingin mendapat status legal, setelah sebelumnya telanjur beroperasi tanpa izin pelepasan kawasan hutan.

PP kedua adalah PP No 61/2012 tentang Perubahan PP No 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.

PP tersebut menjadi pembuka jalan bagi pertambangan yang sebelumnya dicap haram, karena beroperasi tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan.

“Kedua PP tersebut diteken Presiden Susilo Bambang Yu- dhoyono pada 6 Juli 2012,” ujar Zulkifli.

Menurut Zulkifli, kedua PP itu mengatur, kebun dan tambang yang mendapat keistimewaan pemutihan, adalah yang mengantongi izin usaha yang diterbitkan oleh pemerintah daerah.

Lokasi kebun atau tambang tersebut harus mengacu peraturan daerah, tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi atau kabupaten kota yang ditetapkan sebelum berlakunya UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang.

Mengacu kepada UU No 41/1999 tentang Kehutanan, kebun dan tambang tersebut ber- lokasi pada hutan produksi atau hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), kata Menhut.

Nantinya, menurut Zulkifli, dalam proses legalisasi kebun, menhut akan menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan. Menhut juga akan menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang.

Bagi pelaku usaha perkebunan yang ingin mendapat pemutihan, wajib menyediakan lahan pengganti dengan rasio luas lahan 1:1 jika berada pada kawasan hutan produksi.

Rasio lahan pengganti dinaikan menjadi 1:2 jika kebun tersebut berada pada daerah aliran sungai, pulau, atau provinsi yang luas hutannya kurang dari 30 persen.

“Lahan pengganti tidak diperlukan jika kebun tersebut berada pada hutan produksi yang dapat dikonversi,” tuturnya.

Zulkifli mencontohkan, pada 2005 ada permohonan untuk pemanfaatan kawasan hutan. Ketika dalam proses penyelesaian, terbit UU No 26/ 2007.

Permohonan tersebut seharusnya tetap dapat diproses. Namun, dalam UU tersebut tidak ada pernyataan yang mengatur soal tersebut.

UU itu tidak berlaku surut. Akhirnya karena tidak ada penjelasan, izin yang seharusnya bisa diproses malah tidak dilakukan. Malah jadi abu- abu. Tidak ada kepastian hukum,” tutur dia.

Tetap Ditangkap

Zulkifli tidak sependapat jika PP itu disebut sebagai ketentuan pemutihan.

Dia menyatakan, terbitnya ketentuan tersebut tidak akan menghentikan penindakan hukum terhadap perusahaan tambang dan kebun yang memanfaatkan kawasan secara nonprosedural.

“Yang salah tetap kami tangkap. Kalau diamenggunakan hutan produksi atau lindung tanpa izin, akan kami sidik. Tapi kalau ada izin kebun atau tambangnya bisa diproses izin pemanfaatan hutannya,” papar dia.

Selama dua tahun terakhir, kata Menhut, Kementerian Kehutanan gencar membidik perusahaan perkebunan dan pertambangan yang merambah hutan.

Menhut bahkan sudah melayangkan surat No.S.95/Menhut-IV/2010 pada Februari 2010 kepada seluruh kepala daerah untuk melakukan inventarisasi penggunaan kawasan hutan yang tidak prosedural.

“Kami juga menyisir langsung di lapangan bersama sejumlah instansi penegak hukum lainnya, termasuk kepolisian, kejaksaan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum,” papar Zulkifli.

Saat ini, menurut Zulkifli, di Kalimantan saja, ada 2.000 perusahaan perkebunan dan pertambangan dengan luas jutaan hektare diketahui menggunakan kawasan hutan hanya berbekal izin yang diterbitkan pemerintah daerah.

Mereka pun dikenai tuduhan menggunakan kawasan hutan secara ilegal karena sebelum bisa memanfaatkan kawasan hutan, perusahaan perkebunan harus memperoleh izin pelepasan kawasan hutan.

“Sedangkan bagi kegiatan pertambangan harus mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan,” ujar Menhut. (Maulana/HT)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar