Senin, 30 Juli 2012

Pengamat: Indonesia Terancam Krisis Pangan

ilustrasi


Jakarta, (SUARA LSM) - Pengamat pertanian Lembaga untuk Pembangunan Ekonomi dan Keuangan (Indef) Bustanul Arifin mengatakan Indonesia saat ini terancam krisis pangan karena ketidakmampuan pemerintah memenuhi pasokan bahan pokok dari dalam negeri sementara permintaan terus meningkat.
"Seharusnya pemerintah mulai membaca keterbatasan bahan pokok seperti ini, terutama saat kemarau ditambah dengan masuknya Ramadhan yakni ketika produksi menurun sementara permintaan melonjak," kata Bustanul pada unjuk bincang "Lonjakan Harga Pangan dan Ancaman Krisis" di Jakarta, Jumat (27/7).

Bustanul menjelaskan fenomena tersebut seharusnya sudah diantisipasi sejak lama karena dalam teori ekspektasi ilmu ekonomi pedagang akan memasok bahan pokok sebanyak-banyaknya karena mereka mengetahui permintaan akan melonjak.

"Perbedaan memasok dan menimbun memang tipis, jadi banyak pihak-pihak yang melakukan antisipasi tersebut akibatnya harga melambung," katanya. Menurut dia, ketergantungan masyarakat akan produk impor juga memicu merosotnya produk dan produktivitas dalam negeri.

"Pasokan seharusnya lebih tinggi dari permintaan paling tidak sebesar lima persen," katanya.

Dia menjelaskan pada tingkat produksi beberapa bahan pokok merosot tajam hingga menyentuh angka minus, seperti beras minus1,1 persen, jagung minus 3,7 persen, kedelai 6,2 persen, gula 1,8 persen. 

Bustanul mengatakan meski ada beberapa komoditas yang menunjukkan surplus, seperti kelapa sawit, kopi dan kakao, dia menilai kondisi pangan Indonesia harus ditanggapi secara serius. Dia menjelaskan tingginya permintaan bahan pokok dipicu oleh tiga faktor utama, yakni laju pertumbuhan penduduk, elastisitas pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. 

Dia menduga ada pihak-pihak yang memainkan sistem perdagangan oligopoli, yakni sistem yang menggunakan sedikit kekuatan tetapi mampu mengendalikan harga. 

Menurut dia, sistem tersebut akan membentuk struktur perdagangan yang tidak sehat. "Elastisitas transmisinya rendah artinya pergerakan harga tidak sampai ke masing-masing rantai terbawah, yakni para pedagang eceran," kata dia. 

Pernyataan tersebut terkait dengan pembebasan bea impor tempe oleh pemerintah sebagai kebijakan untuk menanggapi aksi mogok para perajin tempe dan tahu karena kelangkaan dan lonjakan harga kedelai. 

Bustanul menilai, kebijakan pemerintah tersebut hanya sementara dan akan berdampak pada ketergantungan impor yang semakin tinggi karena perajin tempe dan tahu lebih leluasa untuk mengimpor. "Pembebasan bea impor dan pemerian penghargaan kepada beberapa daerah karena peningkatan produktivitas beras tidak memecahkan akar masalah, kita harus bedah total sistem produksi petani," katanya. (ant)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar