Selasa, 12 Maret 2013

ICI KALTIM AKAN LAPORKAN DUGAAN PENYEROBOTAN LAHAN MASYARAKAT DI JONGGON


“Kemenakertrans dalam dugaan penyalahgunaan kewenangan dan tindakan pidana korupsi dalam penggunaan pinjam pakai lahan HPL transmigrasi kepada perusahaan tambang batubara (PT. Multi Harapan Utama/MHU) di Kabupaten Kutai Kartanegara Propinsi Kalimantan Timur”

SAMARINDA, (SUARA LSM) - Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas tanah, Hak Pengelolaan tidak disebutkan secara eksplisit di dalam pasal UUPA, namun di dalam Pasal 2 ayat (4) intinya menyatakan bahwa Negara dapat memberikan tanah yang dikuasainya kepada suatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugas masing-masing. Selanjutnya dalam penjelasan umum dinyatakan bahwa kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh, dengan berpedoman pada tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3). Di dalam Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 menetapkan beberapa macam status hak atas tanah, antara lain: Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai dan seterusnya. Artinya, apakah Hak Pengelolaan (HPL) itu sendiri tidak termasuk di dalam status hak atas tanah. Ketentuan tentang HPL itu sendiri pertama kali muncul pada tahun 1965, yakni berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan Kebijaksanaan selanjutnya DalamPasal 1 antara lain dikatakan bahwa hak penguasaan atas tanah negara yang diberikan kepada departemen-departemen, direktorat-direktorat dan daerah swatantra sebelum berlakunya peraturan ini, jika tanah-tanah tersebut dipergunakan untuk kepentingan instansi dikonversi menjadi Hak Pakai. Pasal 2 antara lain menyatakan “jika tanah negara selain dipergunakan untuk kepentingan instansi itu sendiri, juga diberikan kepada pihak ke III, dikonversi menjadi Hak Pengelolaan”. Dalam Pasal 6, dikatakan bahwa Hak Pengelolaan memberikan wewenang kepada penggunanya antara lain, menyerahkan bagian-bagian dari tanah kepada pihak ke III dengan Hak Pakai dalam jangka waktu 6 tahun, Luasnya maksimal 1.000 m2, Menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan.  Didalam peraturan pemerintah no. 8 tahun 1953 maupun Peraturan Menteri Agraria no. 9 tahun 1965 maka sebagai subjek dari HPL (diistilahkan hak penguasaan dalam peraturan pemerintah no. 1 tahun 1953) adalah instatnsi pemerintah dan digunakan dalam pelaksanaan tugasnya , kalaupun ada bagian-bagian tanah HPL yang diberikan kepada pihak ke tiga maka bersifat jangka pendek dan luasan yang kecil dengan jangka waktu yang tidal lama.
Terkait lahan-lahan HPL Transmigrasi dalam hal ini dikuasai negara melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia (Kemenakertrans RI) di wilayah Propinsi Kalimantan Timur Khususnya Kabupaten Kutai Kartanegara, sering menjadi polemik yang akhirnya menimbulkan konflik sosial dan konflik komunal di kalangan masyarakat dengan perusahaan-perusahaan khususnya perusahaan tambang batubara.  Kemenakertrans RI dengan deliverate (turunannya) baik itu Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota, telah mengeluarkan sebuah kebijakan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baik berupa sertifikat HPL maupun Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) secara lokal maupun antar pulau di Indonesia. 
Khusus pembahasan terkait Kemenakertrans dalam dugaan penyalahgunaan kewenangan dan tindakan pidana korupsi dalam penggunaan pinjam pakai lahan HPL transmigrasi kepada perusahaan tambang batubara di kabupaten kutai kartanegara propinsi kalimantan timur, lebih pada bukan sebagai fungsinya untuk mensejahterakan masyarakat daerah dan balancing kependudukan disetiap daerah, karena Kemenakertrans telah memanfaatkan lahan HPL untuk dijadikan sebuah keuntungan ketika lahan-lahan HPL tersebut di plotting masuk dalam wilayah konsesi Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Batubara, sehingga pinjam pakai lahan agar lahan HPL dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan dapat berjalan merupakan suatu modus terselubung untuk meraup keuntungan finansial para pejabat dilingkungan Kemenakertrans baik ditingkat pusat sampai daerah.  Dengan kewenangan yang dimilikinya, kemenakertrnas dapat memberikan ijin pinjam pakai lahan sama seperti Kementerian Kehutanan yang dapat memberikan ijin pinjam pakai lahan Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) kepada pihak ketiga dalam hal ini perusahaan-perusahaan tambang batubara yang sebenarnya perusahaan-perusahaan tersebut hanya dapat bekerja di wilayah kawasan Budidaya non Kehutanan (KBNK) atau areal penggunaan lain (APL), seperti tidak mau kalah dengan Kementerian Kehutanan, saat ini Kemenakertrans mulai melakukan inventarisasi dan penguatan data dilapangan terkait hak dan kepastian lahan-lahan HPL Transmigrasi.
Dugaan adanya penyalahgunaan kewenangan dan dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan Kemenakertrans sangat faktual terlihat, pada kasus pemberian ijin pinjam pakai Lahan HPL Transmigrasi Kemenakertrans RI kepada PT. Multi Harapan Utama (MHU).  PT. MHU sebagai sebuah perusahaan Umum Tambang Batubara melalui Perjanjian Kerjasama Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) nomor 086.Ji/292/U/86 tanggal 31 Desember 1986 yang telah berproduksi komersial sejak tahun 1988.  Sejak dimulainya kegiatan PT. MHU di tahun 1988, lahan HPL Transmigrasi tidak pernah mencuat, padahal hampir sebagian besar lahan IUP PT. MHU berada di wilayah HPL Transmigrasi, PT. MHU tetap melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dengan terlebih dahulu melaksanakan kewajibannya terhadap para pemilik lahan (masyarakat).  Lahan-lahan HPL Transmigrasi menjadi “bersinar” dan dijadikan strategi untuk meraup keuntungan yang lebih besar oleh perusahaan ketika di tahun 2011-2012 terjadi permasalahan besar warga transmigrasi dengan PT. Jembayan Muara Bara (JMB) di Separi Kabupaten Kutai Kartanegara yang menyeret PT. JMB untuk mengganti rugi lahan masyarakat akibat putusan pengadilan dengan dukungan instansi terkait baik Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi maupun Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kutai Kartanegara.  Sebuah kejadian yang menginspirasi para pengusaha untuk memainkan peran lahan-lahan masyarakat di wilayah KBNK/APL sebagai lahan HPL Transmigrasi, yang membuat masyarakat tidak ada hak untuk memiliki lahan dikarenakan telah dikuasai negara melalui HPL Transmigrasi.  Modusnya adalah pihak perusahaan tambang batubara melalui kemenakertrans menyatakan bahwa lahan tersebut masuk dalam wilayah HPL Transmigrasi sehingga para perusahaan melakukan pinjam pakai lahan dengan Kemenakertrans RI dengan membayarkan uang pinjam pakai /ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan yang tidak jelas nilaian dan prosentase yang bisa dipinjam pakaikan kepada pihak ketiga, dan gugurlah kewajiban perusahaan untuk memberikan ganti rugi kepada masyarakat pemilik lahan.  Sebagai sebuah perusahaan PT. MHU berusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, sejatinya PT. MHU membayar masyarakat pemilik lahan yang telah dikelola turun temurun dan dibekali surat legalitas lahan (Surat Kepemilikan Tanah/SKT) yang ditandatangani, saksi batas,Rukun Tetangga,Desa dan Camat diwilayah kerjanya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak (perusahaan dengan pemilik tanah) yang dilihat dari prodiktiftas lahan tersebut, kini masyarakat pemilik lahan ditinggalkan, berganti dengan pihak Kemenakertrans RI, yang tentunya bagi perusahaan akan lebih menguntungkan pinjam pakai lahan HPL kepada Kemenakertrans dibandingkan dengan lahan yang dimiliki masyarakat yang selama 20 (dua puluh) tahun lebih telah dilakoni oleh PT. MHU.  Secara umum masyarakat pemilik lahan mendapatkan ganti rugi sesuai dengan tingkat produktifitas lahan yang dikelola pemilik lahan dan tingkat deposit batubara yang ditaksir oleh perusahaan serta kesepakatan diantara kedua belah pihak, beradasarkan survei dilapangan diketahui nominal yang dibayarkan perusahaan secara garis besar berkisar antara Rp. 30.000.000,00 (Tiga Puluh Juta Rupiah) sampai dengan Rp. 60.000.000,00 (Enam Puluh Juta Rupiah), jika keluasan lahan yang diprospek perusahaan sebesar 100 (seratus) hektar maka dana yang harus dikucurkan oleh perusahaan sebesar Rp.3.000.000.000,00 (Tiga Milyar Rupiah) sampai dengan Rp.6.000.000.000,00 (Enam Milyar Rupiah), dibandingkan dengan pinjam pakai lahan HPL Transmigrasi kepada Kemenakertrans yang secara aturan hukum belum ada kejelasan sehingga tentunya akan lebih menguntungkan bagi pihak ketiga dalam hal ini perusahaan atau PT. MHU. Rentannya penyalahgunaan wewenang dan timbulnya kerugian negara dapat dianalisis dari bukti berikut yakni sesuai dengan surat Direktur PT. MHU nomor 049/OL/MHU/IV/10 tertanggal 9 April 2010 dengan perihal permohonan izin Pemanfaatn Tanah HPL Transmigrasi, oleh Menakertrasn RI Muhaimin Iskandar di tanggapi dengan surat bernomor B.262/MEN/P4T-PT2/XI/2010 tertanggal 15 Nopember 2010, dengan keputusan memberikan ijin kepada PT. MHU untuk melakukan kegiatan eksplorasi di tanah HPL Kemakertrana RI dan kegiatan eksploitasi seluas 179 (seratus tujuh puluh sembilan) hektar untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung mulai tanggal ditandatangani surat.  Sesuai dengan peraturan yang telah diuraikan di pendahuluan tulisan ini, keluasan yang diberikan ijin pinjam pakai lahan HPL Trasnmigrasi kepada PT. MHU masih dapat dikatakan “wajar, akan tetapi selanjutnya terdapat ketidakwajaran manakala pada pinjam pakai tahap kedua berdasarkan surat Presiden Direktur PT. MHU kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (Muhaimin Iskandar) nomor 139/OL/MHU/VIII/11 tanggal 15 Agustus 2011 perihal permohonan ijin untuk melakukan kegiatan pertambangan di areal HPL Kemenakertrans RI Desa Jonggon Kecamatan Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara, sesuai dengan kewenangan yag dimilikinya Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (Muhaimin Iskandar) merespon surat tersebut tertanggal 12 Maret 2012 nomor B.40.Men/P2Ktrans/III/2012, dengan memberikan persetujuan permohonan ijin pemanfaatan tanah HPL Transmigrasi untuk eksploitasi seluas 3,292,38 (Tiga Ribu Dua Ratus Sembilan Puluh dua koma Tiga Puluh Delapan) Hektar untuk jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal ditandatangani surat.  Sebuah pemberiaan pinjam pakai yang sangat tidak lajim karena pinjam pakai tersebut tidak memenuhi kaidah aturan hukum pinjam pakai karena dengan keluasan lahan yang sangat luas dan diluar kelajiman .Perlu untuk diketahui, bahwa Kemankertrans RI selama ini tidak memiliki teknik pengelolaan lahan-lahan HPL secara tepat sehingga dilapangan tidak akan ditemui tanda batas atau patok yang menyatakan batas-batas penguasaan lahan-lahan HPL Trasnmigrasi, permasalahan tumpang tindih lahan masyarakat dengan lahan HPL Trasnmigrasi di Kabupaten Kutai Kartanegara semakin memuncak dan sering terjadi konflik horizontal, konflik komunal bahkan menjurus ke konflik sosial yang sangat luas.  Demi menciptakan situasi kondusif di daerah Kutai Kartanegara Propinsi Kalimantan Timur, menciptakan rasa keadilan di masyarakat dan menciptakan iklim berusaha dan berinvestasi yang pengaruhnya positif kepada kesejahteraan masyarakat, perlu kiranya tindakan cepat dari aparat penegak hukum khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengurai konspirasi busuk di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia terkait permasalahan agraria atau lahan-lahan Hak Pengegolaan (HPL) Transmigrasi.
Dan  dari uraian diatas sinilah  Indonesian Corruption Investigation (ICI) Wilayah Kalimantan Timur  akan melayangkan melaporkan  ke KOMISI PEMBRANTASAN KORUPSI (KPK)  adanya dugaan Penyerobotan  Lahan masyarakat yang dilakukan Perusahan Tambang Batubara, bahkan  ICI Kaltim  menduga bahwa 2 surat  yang dikeluarkan  Kementerian  Transmigrasi dan Tengah Kerja  Nomor Suratnya  sangat berbedah  itu sesuai dengan Penelitian  ICI Kaltim. (Tim Kaltim)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar