Minggu, 25 Agustus 2013

LSM Indonesian Corruption Investigation: SBY Bisa Turun atau Cabut UU Migas

*  Pengelolaan Migas Bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945


 Wakil Ketua Umum ICI,
Lamsihar Purba SH MBA
Jakarta, (SUARA LSM) - Penyebab bobroknya pengelolaan minyak dan gas (migas), dikarenakan adanya pengabaian konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 45. Bahkan, pengelolaan migas Indonesia adalah terburuk di dunia.
 “Dengan demikian, dalam rangka mensejahterakan rakyat dan NKRI, saya minta KPK bongkar tuntas mafia migas, sumber daya alam dan pangan. Untuk itu, UU No.22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi harus dicabut atau SBY bisa turun,” ujar Helmy Thaher, Ketua Umum LSM Indonesian Corruption Investigation (ICI) kepada MediaTOR baru-baru ini, didampingi Lamsihar Purba SH MBA, Wakil Ketua Umum ICI.  
  “Ironisnya, pembubaran BP Migas oleh Mahkamah Konstitusi menjadi SKK Migas ternyata hanya bertukar baju saja bagaikan musang berbulu ayam. Buktinya, tak lama kemudian Kepala SKK Migas tertangkap tangan oleh KPK. Kini rakyat menanti kerja keras KPK untuk membongkar mafia migas agar diseret ke meja hijau. Rakyat mengapresiasi keberanian KPK, agar menangkap aktor mafia migas, sumber daya alam dan pangan. Sesuai dengan amanat konstitusi, guna menyelamatkan keuangan negara, KPK jangan takut tangkap koruptor mafia-mafia Migas” tegas Lamsihar Purba SH MBA.
   Sementara itu, menurut Kurtubi, sebelum SBY berkuasa pada tahun 2004, produksi minyak mentah siap jual (lifting) nasional masih berkisar 1,4 juta barel perhari. Namun, pada akhir 2011 lalu, produksi minyak Indonesia hanya 905.000 barel perhari. Bahkan, pada tahun 2012 ini, produksi minyak cuma berkisar 890.000 barel perhari.
    Padahal, menurut Kurtubi, potensi minyak Indonesia diperkirakan masih mencapai 50 milyar barel. Kurtubi menyebut sejumlah penyebab rendahnya produksi minyak.
    Pertama, anjloknya investasi eksplorasi (pengeboran eksplorasi di blok baru) menyebabkan langkanya penemuan cadangan minyak baru. Akibatnya, produksi minyak Indonesia hanya mengandalkan sumur-sumur tua.
    Yang kedua, kondisi investasi di sektor hulu migas Indonesia termasuk terburuk di dunia, bahkan di kawasan Oceania (versi Fraser Institut). “Hampir tidak ada investasi di blok baru dalam 10 tahun terakhir,” kata lembaga asal Kanada tersebut.
    Salah satu penyebab tata-kelola migas yang buruk itu adalah pemberlakuan UU nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas. UU itulah, di mata Kurtubi, yang menyebabkan pengelolaan migas kita terburuk di dunia; menyebabkan kita menjual gas dengan harga murah di luar negeri, tapi di dalam negeri belum terpenuhi; menyebabkan cost-recovery melonjak dengan sangat luar biasa.
   “UU Migas itu sengaja membuat pengelolaan migas salah kelola. UU migas sangat bertentangan dengan pengelolaan migas ala konstitusi (pasal 33 UUD 1945),” kata Kurtubi saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Subsidi BBM dalam APBN 2012” di Galeri CafĂ©, Jakarta, beberapa waktu lalu.
    UU nomor 22 tahun 2001 tentang migas bermuasal dari RUU migas jilid II. RUU migas jilid II sangat berbau neoliberal dan sangat patuh pada IMF. RUU migas jilid II ini pernah diajukan di masa pemerintahan Gus Dur. Yang mengajukan adalah Menteri Pertambangan saat itu: Susilo Bambang Yudhoyono.
    Namun, belum sempat RUU jilid II itu dibahas DPR, Gus Dur sudah mengganti SBY dengan Purnomo Yusgiantoro. Purnomo-lah yang melanjutkan pengusulan RUU migas jilid II itu hingga menjadi UU migas pada tahun 2001.
   Sebelumnya, pada tahun 1999, RUU migas pernah juga diajukan ke DPR. RUU migas itu sangat didikte oleh IMF. Pengusul RUU migas saat itu adalah Kuntoro Mangkusubroto. Akan tetapi, proposal “RUU migas jilid I” ini ditolak mentah-mentah oleh DPR.
    UU migas saat ini sangat merugikan kepentingan nasional. UU migas ini juga sangat bertolak belakang dengan Pasal 33 UUD 1945. “Ini harus dicabut jikalau mau memperbaiki pengelolaan migas kita. Kemudian kita harus kembali pada konstitusi: pasal 33 UUD 1945,” tegas Kurtubi.
Rugikan rakyat dan Negara
    Tragisnya, saat ini perusahaaan asing beramai-ramai datang menggerogoti kekayaan minyak dan gas dari perut bumi kita. Padahal, Indonesia saat ini menguasai cadangan minyak sekitar 9,7 miliar barel dan merupakan produsen terbesar LNG dunia. 
    Tetapi, anehnya, kita harus mengimpor 350.000 bph dalam bentuk minyak mentah dan 400.000 bph BBM dari total kebutuhan 1,4 juta bph. Kondisi ini tentu saja merugikan rakyat dan Negara karena membebani APBN.
   Demikian Bernhard Limbong, dalam tulisan yang dilansir Suara Pembaruan, 23 Agustus 2013. Dikatakan, menurut Pasal 33 UUD 1945, harus menjadi acuan dan patokan dasar, sebab dalam Pasal 33 bukan ideology, melainkan politik, sosial, ekonomi, ayat 1 : “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.” Bahwa keputusan lokasi tambang, kegiatan eksplorasi, dan ekploitasi pengelolaan sumber daya migas dan sumber daya alam harus menyangkut semua kepentingan termasuk masyarakat lokal/adat.
    Sementara itu, dalam pasal 33 ayat 2: “Cabang-cabang produksi sumber daya alam yang penting bagi Negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Hak menguasai Negara (HMN) harus utuh berada di tangan alat kelengkapan negara (DPR/DPD/BPK dst.) dan tidak bisa dialihkan kepada pihak swasta dan asing.
    Nyatanya penguasaan oleh perusahaan asing sudah lebih mendominasi diperkirakan mencapai 70/80 persen? Padahal dalam ayat 2, yang dipertegas dalam ayat 3: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat NKRI.”  Bukan untuk kemakmuran rakyat negara asing (perusahaan kontraktor dan trader asing) dan segelintir elit penguasa dalam negeri.
     Cukup sudah rakyat jelata NKRI menjadi objek budak di negeri sendiri. Karena itu, reformasi hukum menuju konstitusionalisasi pembangunan ekonomi berdasarkan Pasal 33 UUD 45 dan pemberantasan kejahatan migas dan sumber daya alam, pangan merupakan harga mati.-(Md/BPT)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar