Senin, 16 Juli 2012

Pengelolaan APBD DKI Dinilai Masih Letoy...

ilustrasi

Jakarta, (SUARA LSM) - Pengelolaan APBD DKI Jakarta selama periode 2008-2011 belum baik alias masih letoy. Realisasi anggaran hanya berkisar 79,3-85 persen. Kondisi itu meng hasilkan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa) setiap tahunnya sekitar Rp 4,45 triliun hingga Rp 6,47 triliun.
Hal itu dikatakan Direktur In do nesia Budget Center (IBC) Roy Salam. Menurutnya, da lam rentangan 2008 hingga 2011, ra ta-rata anggaran DKI yang tidak terserap mencapai 20,3 persen.
“Rendahnya penye rapan ang garan menunjukkan ma sih be lum maksimalnya ki nerja pe merintah. Akibatnya, pro gram pemba ngu nan tidak terea lisasi dengan baik,” ujarnya di Jakarta, kemarin.
Roy juga kembali menyoroti belanja hibah 2012 yang dialo kasikan sebesar Rp 1,37 triliun, atau naik delapan kali lipat di banding alokasi 2007 sebesar Rp 177 miliar. Meski dalam lima ta hun terus-terusan dianggarkan naik, kenaikan hingga 215 per sen menjelang dua tahun pil kada dinilai tidak wajar.
“Anggaran hibah, bantuan so sial dan bantuan keuangan da pat ditinjau kembali, dikurangi, atau ditiadakan dalam tahun ang garan berjalan sesuai kemam puan ke uangan daerah dan ke layakan pemberian hibah, ban tuan sosial, dan bantuan ke uangan,” jelas Roy.
Pakar ke bijakan publik An drinof Cha niago mengungkap kan, keba nya kan warga DKI Ja karta tidak mengetahui jumlah APBD DKI Jakarta saat ini.
“Minimnya penge tahuan war ga meng in dikasikan perencanaan ABPD DKI Jakarta hanya berda¬sarkan per timbangan elite ekse kutif dan legislatif,” katanya.
“Ketidaktahuan itu membuat warga DKI sumringah saat tahu pendidikan 12 tahun akan digra¬tiskan. Padahal, hal itu wajar mengingat APBD DKI untuk pen didikan mencapai 10 triliun rupiah. Seharusnya lebih dari se kadar gratis,” sindir Andrinof.
Selain itu, lanjutnya, berkaitan persoalan permukiman, peme rintah juga kurang mem per ha¬tikan pentingnya hunian berben tuk vertikal seperti rumah susun (rusun). Padahal, rusun diper lukan sebagai solusi kemacetan lalu lintas.
“Penyebab lain kemacetan si fatnya struktural, yakni tata ru ang dan tata bangunan. Banyak ber diri bangunan pencakar la ngit dan makin besar orang yang ber mu kim di pinggiran,” terang Andrinof.
Masyarakat saat ini, lanjut nya, makin tersingkirkan, se hing ga cenderung bermukim ke daerah pinggiran kota lantaran semakin tingginya pembangu nan gedung di kota. Dampak nya, kemacetan pun kian tinggi terjadi di daerah pinggiran kota.
“Solusinya adalah menggala kan pembangunan hunian verti kal, seperti rusun. Orang kota, suka atau tidak suka, harus dido rong tinggal di hunian vertikal di tengah kota,” tegasnya.
Buruknya pelayanan kesehatan di Jakarta juga menjadi perhatian Andrinof. Tingkat kekecewaan masyarakat terhadap penyele sai an masalah kesehatan di DKI Jakarta, dia nilai cukup besar.
“Selain itu, sebesar 22,68 per sen masyarakat meminta guber nur baru meningkatkan kinerja penanggulangan banjir,” papar Andrinof. (miol)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar