Sabtu, 05 Mei 2012

Pembangunan Hutan Kota

  Oleh: Ir. Yuliarto Joko Putranto. M,AP.
Kasubdit Pemolaan RHL-Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan
 dan lahan Ditjen BPDASPS Kemenhut

1. Perencanaan
Dalam studi kajian perencanaan aspek yang diteliti meliputi: lokasi, fungsi dan pemanfaatan, aspek tehnik  silvikultur, arsitektur lansekap, sarana dan prasarana, tehnik pengelolaan lingkungan.

Bahan informasi yang dibutuhkan dalam studi meliputi : (l) Data fisik (letak, wilayah, tanah, iklim dan lain-lain); (2) Sosial ekonomi (aktivitas di wilayah bersangkutan dan kondisinya); (3) Keadaan lingkungan (lokasi dan sekitarnya); (4) Rencana pembangunan wilayah (RUTR, RTK, RTH), serta (5) Bahan-bahan penunjang lainnya.
Hasil studi berupa Rencana Pembangunan Hutan Kota yang terdiri dari tiga bagian, yakni:
  1. 1.    Rencana jangka panjang, yang membuat gambaran tentang hutan kota yang dibangun, serta target dan tahapan pelaksanaannya.
  2. 2.    Rencana detail yang membuat desain fisik atau rancang bangun untuk masing-masing komponen fisik hutan kota yang hendak dibangun serta tata letaknya.
  3. 3.    Rencana tahun pertama kegiatan, meliputi rencana fisik dan biayanya.

2.    Kelembagaan dan Organisasi Pelaksanaannya
Organisasi pembangunan dan pengelolaan hutan kota sangat bergantung kepada perangkat yang ada dan keperluannya. Sistim pengorganisasian di suatu daerah mungkin berbeda dengan daerah lainnya. Salah satu bentuk pengorganisasiannya pembangunan dan pengelolaan hutan adalah seperti yang tercantum pada gambar 2. Walikota atau Bupati sebagai kepala wilayah bertanggung jawab atas pembangunan dan pengembangan hutan kota di wilayahnya. Bidang perencanaan dan pengendalian dipegang oleh Bappeda Tingkat ll yang dibantu oleh tim Pembina yang terdiri dari Kanwil Departemen Kehutanan, Kanwil Departemen Pertanian dan Perkebunan, Kanwil Departemen Pekerjaan Umum, Kanwil Departemen Kesehatan, Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup dan yang lainnya menurut kebutuhan masing-masing kota dan daerah. Untuk pelaksanaannya dapat ditunjuk dinas-dinas yang berada di wilayahnya.
Pengelolaan hutan kota pada areal yang dibebani hak milik diserahkan kepada pemiliknya, namun dalam pelaksanaannya harus memperhatikan petunjuk dari bidang perencanaan dan pengendalian. Guna memperlancar pelaksanaannya kiranya perlu dipikirkan jasa atau imbalan apa yang dapat diberikan oleh pemerintah kepada yang bersangkutan.
3. Pemilihan Jenis
Guna mendapatkan keberhasilan dalam mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup diperkotaan, jenis yang ditanam dalam program pembangunan dan pengembangan hutan kota hendaknya dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan dengan tujuan agar tanaman dapat tumbuh baik dan tanaman tersebut dapat menanggulangi masalah lingkungan yang muncul di tempat itu dengan baik.
Untuk mendapat hasil pertumbuhan tanaman serta manfaat hutan kota yang maksimal, beberapa informasi yang perlu diperhatikan dan dikumpulkan antara lain:

  1. l.    Persyaratan edaphis: pH, jenis tanah, tekstur, altitude, salinitas dan lain-lain
  2. 2.    Persyaratan metereologis: suhu, kelembaban udara, kecepatan angin, radiasi matahari.
  3. 3.    Persyaratan silvikultur: kemudahan dalam hal penyediaan benih dan bibit dan kemudahan dalam tingkat pemeliharaan.
4.    Persyaratan umum tanaman:
    Tahan terhadap hama dan penyakit, cepat tumbuh, kelengkapan jenis dan penyebaran jenis, mempunyai umur yang panjang, mempunyai bentuk yang indah, Ketika dewasa sesuai dengan ruangan yang ada, kompatibel dengan tanaman lain, serbuk sarinya tidak bersifat alergis.
4. Persyaratan untuk pohon peneduh jalan; mudah tumbuh pada tanah yang padat, tidak mempunyai akar yang besar dipermukaan tanah, tanah terhadap hembusan angin yang kuat, dahan dan ranting tidak mudah patah, pohon tidak mudah tumbang, buah tidak terlalu besar, serasah yang dihasilkan sedikit, tahan terhadap pencemar dari kenderaan bermotor dan industri, luka akibat benturan mobil mudah sembuh, cukup teduh, tetapi tidak terlalu gelap, kompatibel dengan tanaman lain, daun, bunga, buah, batang dan percabangannya secara keseluruhan indah, mati, membahayakan, saling berhimpitan, pohon terkena penyakit dan dapat mengancam pohon-pohon lain, pohon-pohon pada jalur jalan dan bangunan, mengganggu jalur listrik dan telepon.
Beberapa metoda yang dapat dipergunakan untuk menebang pohon adalah:
a. Tumpangan (Toping)
Cara ini sangat biasa dipakai untuk menebang kayu di hutan. Penebang (belandong) pertama-tama akan menentukan arah rebah. Takik rebah dan takik balas dibuat baik dengan gergaji maupun dengan kapak. Cara ini hanya dapat dilakukan di daerah yang luas dan jauh dari jalan raya, pemukiman, jalur listrik, telepon dan lain-lain.
b. Penggalan (Sectioning)
Pemanjat pohon yang telah dilengkapi dengan tali pengaman yang dikaitkan ke tubuhnya kemudian memanjat pohon. Pemanjat menuju cabang pertama kemudian memotong dengan gergaji mesin atau kapak dan memotong cabang tersebut. Kemudian naik lagi dan memotong cabang yang lain dengan cara bersandar pada cabang lain yang aman. Demikian selanjutnya, pekerjaan diteruskan sampai keatas. Pada saat tersebut, orang yang berada di tanah memotong-motong cabang dan ranting yang baru jatuh.
Setelah cabang-cabang terpotong, orang yang berada dibawah mulai membereskan cabang-cabang tersebut. Kemudian pemanjat turun dan pekerjaannya digantikan oleh orang lain untuk memenggal pohon bagian demi bagian yang dimulai dari bagian atas.
Bila pohon yang hendak ditebang memiliki dahan yang panjang, melintang di atas rumah, pagar, tanaman berharga dan kabel listrik, maka salah satu cara adalah dengan menggunakan tali.
Pengikatan, pemotongan dan penurunan, bagian demi bagian, walaupun ketinggalan jaman, tetapi kadang-kadang merupakan jalan yang terbaik.
c  High-lining
Cara lain yang menarik adalah high-lining. Jika pohon yang akan dipotong dikelilingi oleh benda-benda berharga yang tidak dapat disingkirkan, maka cabang dapat dipotong bagian demi bagian dan dijatuh-arahkan ke sasaran yang diinginkan. Cara ini dapat dilakukan dengan jalan menambatkan salah satu ujung tambang yang kuat pada pohon dan ujung lain dilokasi sasaran yang menjadi tempat jatuhnya bagian-bagian pohon. Tambang tersebut diusahakan mempunyai sudut kemiringan yang cukup. Tidak terlalu tajam, agar bagian pohon tidak meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi, namun sebaliknya tidak terlalu landai. Jika sudut kemiringan tambang terlalu landai, maka jatuhnya dahan tersebut mungkin akan terganggu, bahkan terhenti selain itu membutuhkan areal yang lebih jauh. Operasi pemindahan potongan cabang pohon ini berdasarkan gaya gravitassi. Dengan cara ini semua cabang dapat dipindahkan ketempat lain dengan aman. Penebangan pohon dilakukan seperti pada cara penggalan.
d. Potong bawah (Bottoming)

Penebang dengan cara menumbangkannya serta pembagian batang bagian demi bagian dari ujung sampai ke pangkal merupakan dua cara standar dalam penebangan pohon. Cara lainnya yang jarang ditemui adalah potong bawah (bottoming). Cara ini merupakan kebalikan dari cara yang telah dijelaskan terlebih dahulu (Haller, l986)
Teknik ini hanya dapat dilakukan bila ada satu atau lebih pohon lain yang berukuran sama atau lebih besar di dekat pohon yang akan ditebang. Dalam cara ini, tali diikatkan di sekeliling tajuk pohon yang akan ditebang ke pohon yang tidak ditebang. Pohon yang telah diikat dengan tali di sekitar puncaknya kemudian bagian pangkalnya digergaji. Bagian pangkal/bawah dari pohon dipotong dengan posisi tetap berdiri. Panjang bagian batang yang dipotong sesuai dengan yang dikehendaki. Setelah pemotongan pohon diturunkan dengan cara mengulurkan tali sambil menjaga agar batang pohon tetap tegak, kemudian sedikit demi sedikit pohon dipotong lagi. Demikian seterusnya sampai pohon habis terpotong.

Antara Harapan dan Kenyataan
Telah dijelaskan pada Bab l bahwa dalam sejarah perkembangan peradabannya, manusia semula selalu bersahabat dengan alam. Rumah tempat tinggal manusia yang dekat dengan hutan, akan akrab dengan flora dan fauna. Sedangkan yang tinggal dekat laut sangat akrab dengan deburan ombak, hembusan angin, hutan pantai dan bakau. Namun dengan berkembangnya permukiman dari desa yang kecil dan sederhana menjadi kota yang besar dan kompleks mengakibatkan terjadinya pelepasan diri manusia bahkan ada kecenderungan untuk “menghancurkan” hutan. Hasilnya baru kemudian dirasakan adalah menurunnya kualitas lingkungan hidup.
Beberapa kota besar telah membangun dan mengembangkan hutan kota untuk mengantisipasi masalah tersebut di atas, namun ada juga pembangunan hutan kotanya masih dalam taraf perencanaan.
    Fraksi Karya pembangunan DPRD Tingkat I Bali pada tanggal 25 April 1991 telah mengajukan pertanyaan kepada pemerintah Daerah Tingkat I tentang rencana pembangunan hutan kota di Provinsi Bali. Juru bicara fraksi tersebut lebih lanjut menegaskan bahwa jangan sampai tanah sudah habis dibangun, baru mencari tanah untuk hutan kota (Pedoman Rakyat, 25 April l991).
Pada tanggal 2 Mei l990 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia juga mempertanyakan tentang realisasi pembangunan hutan kota di Jakarta. Target penghijauan di Jakarta baru terealisasi 10% saja  (Kompas, 26-10-1990). Padahal menurut rencana luasan lahan yang yang harus dihijaukan adalah sekitar 40% dari luas 650 km2. Menurut rencana Induk 1965-1985 (tahun 1977) luasan lahan yang harus dihijaukan di Jakarta adalah 23.750 Ha (Kompas, 26-10-1990). Pada kenyataannya taman-taman di Jakarta sebanyak 181 dari 394 taman telah berubah fungsi menjadi lokasi pedagang kaki lima, gardu listrik, pompa bensin dan kantor RW (Suara pembaruan, 2-5-l990).
Soeriatmadja dalam seminar Penghijuan Kota yang diselenggarakan oleh Peguyuban Pelestarian Budaya Bandung dan Pikiran Rakyat menyatakan tahun l961 kota Bandung yang luasnya 8.098 Ha terdiri dari taman alam dan buatan seluas 3.431 Ha. Namun setelah 20 tahun kemudian hanya tinggal 716 Ha saja (Suara pembaruan, 29-1-1991). Perhitungan yang dilakukan berdasarkan pendekatan kebutuhan oksigen berdasarkan Rumus Gerakis pada tahun 1988 di Kotamadya Bandung mestinya sudah harus tersedia penghijauan sebesar 5.093,61 Ha (Ryanto, 1989).
Beberapa hambatan yang dijumpai dan sering mengakibatkan kurang berhasilnya program pengembangan hutan kota antara lain;
l. Terlalu terpaku kepada anggapan bahwa hutan kota harus dan hanya dibangun di lokasi yang cukup luas dan mengelompok.
2. Adanya anggapan bahwa hutan kota hanya dibangun di dalam kota padahal harga lahan di beberapa kota besar sangat mahal. Harga tanah misalnya di Jakarta di kawasan Jenderal Sudirman Rp 5,5 juta/m2, di Jl. Gatot Subroto Rp 3,5 juta/m2 dan dikawasan Jl. Rasuna Said Rp 2,2 juta/m2 (Suara pembaruan, 7-11-1990) 3. Adanya konflik dari berbagai kepentingan dalam peruntukan lahan. Biasanya yang menang adalah yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Karena hutan kota tidak mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, maka lahan yang semula diperuntukan bagi hutan kota, atau yang semula telah dibangun hutan kota, pada beberapa waktu kemudian diubah peruntukannya menjadi supermarket, real estate, perkantoran dan lain-lain.
4. Adanya penggunaan lain yang tidak bertanggung jawab seperti:
- Bermain sepak bola
- Tempat kegiatan a-susial
- Tempat tuna wisma
- Pohon sebagai tempat cantolan kawat listrik dan telepon
- Pangkal pohon sering dijadikan sebagi tempat untuk membakar sampah
-     Sebagai tempat ditancapkannya reklame dan spanduk
 - Vandalisme dalam bentuk coretan dengan cat atau goresan dengan pisau
-     Gangguan bintang: anjing, kucing, tikus dan serangga
Beberapa upaya penanggulangan yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut di atas antara lain:
l. Hutan kota dapat dibangun pada tanah yang kosong di kawasan; pemukiman, perkantoran dan industri, tepi jalan, tikungan perempatan jalan, tepi jalan tol, tepian sungai, di bawah kawat tegangan tinggi, tepi jalan kereta api dan berbagai tempat lainnya yang memungkinkan untuk ditanam.
2. Pengukuhan hukum terhadap lahan hutan kota. Dengan demikain tidak terlalu mudah untuk merubah kawasan ini menjadi peruntukan lain.
3. Pembuatan dan penegakkan sanksi bagi siapa yang menggunakan lahan hutan kota untuk tujuan-tujuan tertentu diluar peruntukannya.
4. Sanksi yang cukup berat bagi siapa saja yang melakukan vandalisme.
5. Melindungi tanaman dengan balutan karung atau membuat pagar misalnya dari bambu, agar bintang tidak masuk dan merusak tanaman.

Penutup
Masalah hutan kota yang paling mendasar hingga saat ini adalah;
(l). Dukungan dari penentu kebijakan,
(2). Dukungan financial
(3). Dukungan masyarakat dan
(4). Tenaga ahli.
Oleh karena itu untuk memperoleh keberhasilan pembangunan dan pengembangan hutan kota di Indonesia dukungan-dukungan seperti yang telah disebut di atas perlu disempurnakan secara sungguh-sungguh.
   Ilmu hutan kota merupakan suatu disiplin ilmu yang relatif baru, namun sangat perlu  dan segera harus dikembangkan, karena mempunyai keuntungan antara lain:
l. Melalui penyuluhan hutan kota kepada masyarakat dapat disampaikan tentang pentingnya menciptakan lingkungan hidup di perkotaan yang sehat, indah, bersih, nyaman  dan alami, sehingga dapat dijadikan sebagai komponen pelengkap dalam mewujudkan kemajuan, ketahanan dan masa depan bangsa Indonesia. Usaha penataan kota seperti yang telah dilakukan oleh beberapa kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan beberapa kota besar lainnya diharapkan akan berjalan lebih pesat lagi dan dapat diikuti dengan beberapa kota lainnya.
2, Turut mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan pengelolaan hidup diperkotaan.
3. Sebagai salah satu buktinya tentang keterlibatan disiplin ilmu kehutanan dalam memecahkan masalah lingkungan global.
4. Menciptakan lapangan kerja baru bagi Sarjana Kehutanan dan lulusan sekolah dibawahnya.
5. Turut serta dalam menangkan kampanye anti pengguna kayu tropis.
6. Turut mensukseskan program kunjungan wisata ke Indonesia
7. Mengubah persepsi masyarakat barat yang tidak tepat.
8. Membantu pemerintah dalam program udara bersih.
(Maulana/Bram)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar