Sebagaimana Halim, kawasan Bandara Soetta juga mulai dipenuhi pembangunan properti. Sebuah grand design baru bandara internasional ini juga te¬ngah dipersiapkan, yang ditargetkan selesai pada 2014. Pengembangan bandara ini harus mampu mengantisipasi kondisi 50 tahun ke depan.
Pengamat perkotaan Universitas Trisakti Nirwono Joga berpendapat, konsep pengembangan Bandara Internasional Soekarno-Hatta harus bersifat jangka panjang. Pengelola bandara harus sudah memprediksi ke¬mung¬ki¬nan yang terjadi di masa-masa mendatang.
Nirwono menga¬ta¬kan, ke¬be¬ra¬daan bandara yang ada saat ini sa¬ngatkah rawan, karena cukup dekat dengan laut. Akhirnya trans¬portasi menuju bandara ke¬rap mengalami gang¬guan, seper¬ti air pasang dan ban¬jir.
“Saya khawatir kawasan ban¬dara akan tenggelam 20 tahun ke depan, mengingat saat ini per¬mu¬kaan tanah mulai menurun dan air laut semakin meninggi,” tuturnya.
Nirwono menegaskan, pemba¬ngunan jalur kereta harus diper¬cepat. Pasalnya, moda trans¬por¬tasi kereta sudah terbukti lebih efi¬sien dan bisa lebih banyak mengangkut penumpang serta lebih cepat. Faktor lain yang ha¬rus diper¬hatikan adalah sterili¬sasi kawasan bandara.
“Seharusnya kawasan bandara steril dari bangunan apapun, baik permukiman pen¬duduk maupun gedung pencakar langit, hotel, dan lain-lain. Makanya, perlu dilakukan tata ruang yang lebih aman dan lebih ketat. Ini bertu¬juan agar bandara bisa benar-benar steril dari gangguan, baik gangguan alam seperti banjir maupun gangguan teknis dari manusia itu sendiri,” ujarnya.
Seperti diberitakan, kebera¬da¬an Bandara Internasional Soe¬kar¬no-Hatta jauh tertinggal di¬ban¬dingkan bandara di sejumlah ibu kota negara lain. Fasilitas trans¬portasi, ruang tunggu, food court, toilet, ataupun teknologi infor¬masinya, ketinggalan zaman.
Apalagi membandingkannya dengan bandara di negara-negara maju di Asia Timur seperti In¬cheon International Airpot di Korea Selatan, Handea Inter¬na¬tional Airport di Jepang, atau Hong Kong International Airport.
Dibandingkan bandara-ban¬dara di Asia Tenggara saja, se¬perti Changi International Aiport Si¬ngapura, Suvarnabhumi Thai¬land, dan Kuala Lumpur In¬ter¬na¬tional Airport,Malaysia, kon¬disi Bandara Soekarno-Hatta jauh tertinggal.
Bahkan, peralatan navigasi pun tertinggal. Untuk mengejar keter¬tinggalan tersebut, penge¬lola ban¬dara mulai melakukan pem¬be¬nahan. Salah satunya, mem¬buat grand design baru yang mulai dibangun tahun ini.
Tahap awal, lokasi parkir inap dipindahkan. Selanjutnya, perlu¬asan dilakukan secara bertahap. Untuk perluasan bandara, PT Angkasa Pura II membutuhkan lahan seluas 830 hektare. Perlua¬san lahan itu dibutuhkan untuk pe¬nambahan fasilitas bandara, yaitu jalur kereta api menuju ban¬dara dan Terminal 4.
Dikepung Padatnya Permukiman Penduduk...
Peristiwa jatuhnya pesawat Fokker-27 pada Kamis (21/6) pe¬kan lalu terus mendapat perha¬tian. Pasalnya, pesawat jatuh di permukiman penduduk yang ti¬dak jauh dari kawasan bandara.
Padahal, sesuai aturan pener¬bangan, dalam radius kilometer tertentu lapangan terbang harus bebas dari bangunan tinggi mau¬pun permukiman penduduk, ka¬rena sangat membahayakan.
Pengamat penerbangan Ruth Hanna Simatupang menyatakan, suatu kesalahan besar jika mem¬biarkan kawasan bandara dipe¬nuhi permukiman penduduk.
“Se¬harusnya kawasan sekitar bandara tidak dipenuhi ba¬ngu¬nan, baik warung maupun per¬kantoran dan pemukiman pen¬duduk permanen,” ujarnya.
Menurut Hanna, keberadaan Bandara Halim Perdana Kusuma sebenarnya sudah sesuai perun¬tukan¬nya sebagai lapangan ter¬bang atau bandara. Bahkan jika dilihat dari sejarahnya, kebe¬ra¬daan bandara jauh lebih dulu ada ketimbang permukiman pen¬du¬duk. Karenanya, dia tidak setuju jika Bandara Halim harus dipin¬dah karena makin padatnya per¬mu¬kiman penduduk.
Dari hasil pengamatannya, ham¬pir seluruh bandara di Indo¬nesia saat dibangun awal sebe¬nar¬nya jauh dari permukiman pen¬¬duduk. Namun dalam hitu¬ngan tahun, langsung muncul ba¬ngu¬nan properti, perkantoran dan bangunan penduduk lainnya.
Disinggung soal pesawat Fok¬ker-27 yang jatuh, dia mengaku menyayangkan, pesawat ter¬sebut tidak memiliki kotak hi¬tam. Pa¬dahal, meski pesawat militer se¬kali pun, kotak hitam dia nilai te¬tap sangat dibutuhkan untuk me¬ngetahui kecepatan angin dan pembicaraan pilot dengan co-pi¬lot, hingga dike¬tahui penyebab kecelakaan bila akihirnya terjadi.
“Kotak hitam itu kan bukan berisikan rahasia negara atau ke¬kuatan militer. Tapi hanya me¬nge¬¬tahui cuaca dan percakapan pilot dengan co-pilot selama pe¬ner¬ba¬ngan, khususnya saat meng¬¬ha¬dapi ma¬salah,” jelasnya.
Pesawat Fokker-27 itu, lanjut Hanna, jika memang digunakan untuk kepentingan militer, seha¬rusnya tidak boleh mengangkut penumpang sipil, meski korban¬nya adalah keluarga militer.
“Ha¬rus ada ketegasan dari pim¬pinan. Kalau buat kepenti¬ngan militer ya jangan diguna¬kan untuk mengangkut penum¬pang umum,” kritiknya.
Hanna menduga, Fokker-27 jatuh karena terbang terlalu ren¬dah saat melakukan touch and go. “Ka¬lau dia punya power un¬tuk naik lagi, pasti tidak akan se¬perti itu. Itu kondisi salah satu sa¬yap pe¬sa¬wat¬nya kena ba¬ngun¬an, dan akan pull-up tidak bisa,” katanya.
Pengamat penerbangan lain¬nya, Arista Atmadjati menilai, bisa saja Fokker-27 jatuh karena gagal bermanuver akibat mesin pe¬sawat yang sudah tua. “Kan Fokker itu umurnya sudah 39 ta¬hun. Risiko terjadi kesalahan tek¬nis juga besar karena sudah ku¬rang lincah,” kata Arista.
Apalagi, lanjut Arista, pesawat yang jatuh di Komplek TNI AU Lanud Halim Perdana Kusuma Jakarta itu, usianya sudah ter¬bi¬lang tua. Pesawat bermesin tur¬boprop ini dibuat di pabrik Fok¬ker, Belanda, pada 1975, dan di¬gunakan TNI Angkatan Udara pada 1976-1977. “Saatnya pesa¬wat yang menjadi alat utama sis¬tem persenjataan (alutsista) TNI itu diremajakan,” tuturnya.
Seperti diberitakan sebelum¬nya, sebanyak 11 korban mening¬gal dunia akibat jatuhnya pesawat Fokker-27 milik TNI AU di Kompleks Rajawali dekat Ban¬dara Halim Perdanakusuma, Ka¬mis (21/6), pukul 14.45 WIB. Delapan rumah rusak dan belas¬an lainnya luka-luka. (miol)
0 $type={blogger}:
Posting Komentar