Minggu, 05 Agustus 2012

Berpotensi Korupsi, Parlemen Dorong Pemilukada Hemat Biaya

Ilustrasi
JAKARTA, (SUARA LSM) - Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang akan dibahas DPR diusulkan memuat pembatasan dana kampanye. Sebab, proses kampanye yang terjadi saat ini sudah tidak rasional. Pasalnya, dampak dari mahalnya biaya pilkada sangat besar memunculkan potensi korupsi.
 “Ini harus diatur batasan dana kampanye, sehingga orang-orang yang maju itu tidak mengeluarkan uang banyak. Jadi ini harus diatur sedemikian rupa. Ini kan pernah diajukan di pembahasan UU Pemilu tapi belum disetujui. Namun kita akan coba untuk masuk dalam aturan pilkada” kata Wakil Ketua Komisi II Hakam Naja, kepada wartawan, kemarin (2/8).
Hakam berharap adaya pembatasan dana kampanye untuk pilkada bisa disepakati dalam RUU kali ini, sehingga betul-betul masalah dana tidak menjadi kendala dan pilkada bisa membuka kesempatan yang sama bagi semua lapisan masyarakat. “Dari pilgub, pilbup dan pilwalkot bisa dilakukan tanpa harus berduit. Jadi siapapun bisa maju, dan potensi korupsi pun bisa diminimalisir,” ujarnya.
Menurutnya, biaya pilkada yang terlalu mahal berdampak pada calon terpilih. Karena itu, tidak sedikit pasangan calon kepala daerah terpilih yang akhirnya tersangkut kasus korupsi. “Biaya pilkada yang terlalu mahal selalu menjadi kendala. Ini harus dihindari melalui pembatasan dana belanja kampanye pada penyelenggaraan pilkada. Jika tidak ada pembatasan dana kampanye sama saja menanam bom waktu,” terangnya.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sejak 2004–2012 ada 174 kepala daerah yang tersangkut perkara korupsi. Mereka berstatus sebagai saksi, tersangka, terdakwa maupun terpidana. Jumlah itu sudah meliputi kasus terakhir yang menyeret nama Bupati Buol, Sulawesi Tengah,  Amran Batalipu.
Hakam mengutarakan, dalam penyelenggaraan pilkada, banyak laporan keuangan dana kampanye yang fiktif. Jika hal ini dibiarkan terus akan menyebabkan minimnya kualitas kepala daerah. Karena itu, pihaknya akan mendesak agar pembatasan dana kampanye diatur dalam RUU Pilkada yang saat sedang dalam pembahasan di DPR.
Pembatasan dana kampanye bisa dilakukan berdasarkan jumlah pemilih di daerah tertentu. Pasalnya, jumlah pemilih dalam penyelenggaraan pilkada di setiap daerah pastinya akan berbeda, tergantung pada luas wilayah kampanye. “Setiap daerah kan jumlah pemilihnya berbeda. Itu hitung-hitungan yang paling rasional. Saat ini yang ada baru pembatasan waktu kampanyenya.
Sumbangan dana kampanye juga sudah dibatasi, hanya saja auditnya tidak ada pengaturan khusus. Itu juga harus diatur,” ujarnya.
Sementara itu, Pengamat Politik POINT Indonesia Karel Harto Susetyo berpendapat, Dana kampanye calon kepala daerah yang mengikuti proses pemilihan kepala daerah harus diaudit secara transparan.  “Hal ini untuk mengetahui besaran dana yang digunakan beserta sumbernya, agar ketika terpilih tidak ada kebocoran anggaran pada proyek- proyek APBD,” ujarnya.
Menurut Karel, ada kecenderungan bagi kandidat calon kepala daerah menutup-nutupi dana yang mereka miliki untuk digunakan pada saat kampanye. “Jika ada calon kepala daerah yang terpilih, tapi dana kampanye tidak jelas berapa besarnya maupun sumbernya dari pihak mana, dikhawatirkan nantinya akan terjadi kebocoran terhadap dana proyek-proyek dalam APBD,” katanya.
Karena itu, dalam UU Pilkada harus dijelaskan secara lebih detail besarnya dana kampanye yang disesuaikan dengan jumlah penduduk dan luas wilayah, sehingga para calon kepala daerah lebih rasional menyediakan dana kampanye mereka. “Kalau ada calon kepala daerah tertentu yang memiliki kekuatan dana cukup besar karena dengan
kemampuan melobi para donatur, maka akan mendapat dukungan dari para pendukungnya untuk menang,” ujar Karel.
Padahal, lanjutnya, calon kepala daerah yang lain juga punya popularitas untuk memenangkan Pilkada, tapi karena dana kampanye tidak cukup atau mungkin ada tapi disesuaikan dengan UU, maka ia akan tenggelam popularitas calon yang punya dana cukup besar. “Nantinya terlihat secara jelas ada terjadi politik uang yang cukup besar, karena memang tidak ada batasan dana kampanye yang disesuaikan dengan jumlah penduduk dan luas wilayah,” tandasnya.
Setelah itu, katanya, calon kepala daerah yang menang dalam melaksanakan tugas bisa terjebak dalam praktek penyalahgunaan anggaran untuk balas jasa para donatur pendukungnya saat kampanye. “Balas jasa kepada para donatur itu umumnya berupa pemberian proyek untuk menutupi modal yang telah dikeluarkan,” ujarnya. (indps)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar