|
ilustrasi |
SAMARINDA - (SUARA LSM) - Perkara korupsi di kalimantan timur masih kurang menggigit! Khususnya di Pengadilan Tipikor Samarinda seperti saat mengetuk palu vonis untuk menjatuhkan hukum terdakwa asal Kutai Kartanegara (Kukar). Para terdakwa asal Kukar kerap menerima vonis yang “ringan”. Jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan tuntutan jaksa kejaksaan negeri tenggarong.
Seperti saat Sidang vonis pada Jumat 21 Desember 2012 lalu. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hanya menjatuhkan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 50 juta subsider 2 bulan penjara bagi Fajri Tridalaksana dan Dedy Sudarya, terdakwa kasus korupsi bantuan sosial (bansos) Kukar sebesar Rp 19,7 miliar.
Keduanya seperti mendapat diskon 5 tahun, karena sebelumnya, jaksa menuntut hukuman penjara 6 tahun 6 bulan, ditambah denda Rp 200 juta subsider 3 bulan penjara. Jadi itulah yang patut kita pertanyakan ada apakah dibalik ini semua! Kok pengadilan Tipikor kalau menyidangkan kasus Korupsi dari Kutai Kartanegara (Kukar) selalu dengan Hukuman yang rendah”
Pada hal didalam kasus ini, jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa keduanya melanggar dakwaan primer Pasal 2 dan Pasal 3 subsider jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 KUHP.
Namun dalam amar putusan hakim, hanya Pasal 55 KUHP yang dikenakan. Artinya, keduanya cuma dianggap turut serta melakukan perbuatan pidana korupsi.
Tidak hanya itu, kasus lain asal Kukar yang diketuk akhir November 2012 lalu juga mendapatkan vonis yang sangat ringan. Lebih ringan lagi 6 tahun ketimbang tuntutan jaksa. Yakni vonis untuk terdakwa Tatiek Sugihartiningrum. Dirut PT Auramatra Jaya Enginering yang dijerat kasus dugaan korupsi proyek jasa konsultasi penyusunan Amdal dan Detail Engineering Design (DED) Pelabuhan Terpadu Kota Bangun.
Dia hanya divonis Hakim tipikor dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan penjara oleh hakim yang diketuai Sugeng Hiyanto didampingi hakim ad hoc Medan Parulian Nababan dan Abdul Gani.
Padahal jaksa penuntut umum (JPU) menuntut pengusaha asal Jakarta ini dengan tuntutan 8 tahun penjara dengan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan penjara ditambah mengembalikan kerugian keuangan negara sebesar Rp 3,2 miliar.
Alasan majelis, terdakwa tidak terbukti menikmati kerugian keuangan negara.
Belum lagi vonis ontslag van rechtsvervolging (bebas dari segala tuntutan hukum) bagi 17 mantan anggota DPRD Kukar dalam kasus dana operasional DPRD Kukar. Vonis ini diberikan pada Oktober-Desember 2011 lalu.
Vonis majelis hakim ini mengundang reaksi miring. Penggiat anti-korupsi Indonesia Corruption Investigation (ICI) wilayah kalimantan timur yang di ketuai Sandri.M.Armand Mengatakan, bahwa putusan hakim tindak pidana korupsi (tipikor) merupakan bagian dari kemandirian kekuasaan kehakiman, pada hal seharusnya kasusu korupsi itu di hukum seberat-beratnya karena penjahat uang negara/uang rakyat sama halnya merusak Moral bangsa kita sendiri?
sebab seharusnya, majelis hakim benar-benar mempertimbangkan putusannya.
“Saya selaku Direktur BPNW ICI kaltim ini tetap menghormati putusan majelis hakim. Akan tetapi rendahnya vonis itu terhadap terdakwa maka pengadilan tipikor Kalimantan Timur tetap akan selalu memancing perdebatan,” yang jelasnya seperti itu terjadi,
Dikatakan SM.ARMAND, Panggilan sehari-harinya, dalam Undang-Undang Tindak Pdana Korupsi sudah sangat jelas, (UU) 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam bagian menimbang disebutkan, tipikor perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus secara luar biasa.
“jadi Kalau divonis rendah itu , tentu membuat undang-undang menjadi macan kertas saja yang hanya dibaca luar biasa namun Emplementasinya lemah. Artinya di dalam buku tapi faktanya banyak putusan terdakwa korupsi rendah,” ucap Sandri.M.Armand.
Ditambahkannya, harusnya para pelaku korupsi diberikan efek jera dan syock terapi kalau ingin tercapai pemberantasan korupsi di Kaltim, namun kalau hukuman ringan kayak gitu tujuan tidak akan tercapai, dengan vonis rendah. ”Bagian terburuknya, pengadilan tipikor terancam kehilangan wibawa,” keluhnya.
Di lain hal, kata dia, vonis rendah seperti mempertegas persepsi di tingkat publik terhadap analogi pisau dapur di dunia hukum. Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Itulah terhadap penindakan para Koruptor di kaltim saat ini, karena sudah berapa banyak pelaku tindak pidana korupsi di pengadilan Tipikor samarinda yang putusan hukumannya sangat rendah yang diputus oleh Hakim tipikor,
“ pada hal dengan Tuntutan enam tahun ini sudah sangatlah sederhana bagi pelaku tindak pidana korupsi! Namun putusannya yang dijatuhkan hakim tidak sampai dari setengah tuntutan Jaksa, Tidak ada jalan lain, jaksa memang harus melakukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Kaltim bahkan kalau perlu nantinya sampai ke tingkat Kasasi ke Mahkamah Agung RI. mengenai putusan hakim,” tegas Dirwil ICI kaltim ke media ini, namun meski begitu tak hanya putusan pengadil yang patut dicermati. Karena Bukan tidak mungkin tuntutan jaksa cenderung tinggi atau boleh jadi karena terlalu mudah menetapkan seseorang menjadi tersangka demi mengejar target. Boleh jadi pula, akibat dakwaan kurang tepat atau malah lemah!
Meski begitu tapi rendah kita harus kembali mencermati atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum(JPU) apakah ada suatu target demi menyelesaikan suatu kasus Korupsi, tambah SM.Armand, dan dia menghargai putusan majelis hakim karena majelis mempunyai pertimbangan saat ingin memutus sebuah perkara. Sehingga, kata dia, jika putusan yang diberikan tidak sepadan, ya jaksa wajib banding. Karena itu kewenagan Penegak hukum itu sendiri,“Jika jaksa tidak banding akan memunculkan anggapan penegakan hukum yang miring,” terang Aktivis LSM ini.
“Cuma Sekarang penegak hukum harus betul-betul tegakan hukum. demi pandangan masyarakat jangan sebentar-sebentar pelaku-pelaku korupsi selalu di hukum/Vonis ringan dari hakim bahkan selalu dibebaskan,” (Tim)
0 $type={blogger}:
Posting Komentar